Obituarium J.S. Badudu: Sosok Guru Bahasa Bangsa
Jika
menelusuri mesin pencarian Google pada pukul sembilanan malam (13/3)
dengan menuliskan nama “Badudu”, kita akan menemukan resultan tentang
sosok Jusuf Sjarif Badudu sebanyak 196.000; dua puluh satu jam terakhir
terisi berita meninggalnya beliau. Di media sosial (medsos) pun, dari FB hingga
BBM, sejak pagi tersiar kabar duka itu. Setidaknya, apa yang terunggah di dunia
maya dan medsos menggambarkan keterkenalan sosok Yus Badudu—demikian kita akrab
mengenalnya.
Beliau memang tidak asing, khususnya untuk dunia bahasa di
Indonesia. Dedikasi dan kecintaan beliau dalam membina bahasa Indonesia
merupakan contoh yang tidak pernah kering untuk ditiru. Hingga tak
berlebihan jika beliau dijuluki “pendekar” bahasa. Sejak medio 1970-an
hingga awal 1980-an dan dilanjutkan antara tahun 1985—1986, melalui acara Siaran
Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI Pusat Jakarta,
beliau menjadi kepanjangan tangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
(Badan Bahasa, dulu Pusat Bahasa) dalam membina masyarakat untuk berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Di samping itu, beliau pun melakukan
pembinaan bahasa Indonesia melalui pengajaran dan penataran-penataran kebahasaan
bagi guru, pegawai di instansi-instansi pemerintahan, dan para wartawan. Tidak
berlebihan pula apabila generasi yang mengikuti acara beliau di era tahun
1980-an itu, mengidentikkan “Yus Badudu” dengan idiom “bahasa Indonesia yang
baik dan benar”. Atau, jika mendengar ungkapan “berbahasalah Indonesia
dengan baik dan benar”, lalu akan teringat pula sosok “Yus Badudu”.
Pemikiran
beliau tentang pembinaan bahasa Indonesia dituangkan dalam bentuk buku panduan
praktis, seperti (1) Pelik-Pelik Bahasa Indonesia,
(2) Membina Bahasa Indonesia Baku (2 jilid), (3) Bahasa
Indonesia: Anda bertanya? Inilah jawabnya, (4) Ejaan
Bahasa Indonesia, dan (5) Mari Membina Bahasa Indonesia Seragam (3 jilid). Beliau pun pernah
menyumbangkan pemikirannya untuk Badan Bahasa lewat penelitian tentang (1) Morfologi
Bahasa Indonesia Lisan, (2) Morfologi Bahasa Indonesia Tulisan, (3) Perkembangan
Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga tahun 40-an, dan (4) Panduan
Penulisan Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama.
Tidak sekadar “pendekar bahasa”, beliau pun adalah “guru bahasa
bangsa”. Beliau sangat peduli terhadap dunia pendidikan, khususnya
pendidikan bahasa Indonesia. Pun, sebelum menjadi “guru besar”, Badudu
pernah menjadi “guru kecil” sejak usia 15 tahun di sebuah SD di Ampana, Sulawesi
Tengah sampai tahun 1951. Beliau pernah menjadi guru SMP (Poso, Sulawesi
Tengah, 1951—1955), guru SMA (Bandung, 1955—1964), dosen (Fakultas
Sastra, Universitas Padjadjaran, 1965–1991), dan hingga
akhirnya beliau pulalah orang pertama yang mendapat gelar guru besar bidang
bahasa dari Fakultas Sastra Unpad tahun 1985 dalam usia 59 tahun. Pada
1982—2016, beliau menjadi guru besar linguistik pada Program Pascasarjana (S-2
dan S-3) Universitas Padjadjaran dan mengajar pula diUniversitas Pendidikan Indonesia (dulu
IKIP Bandung). Beliau juga menjadi guru besar di Universitas Pakuan Bogor pada tahun
1991—2016 dan di Universitas Nasional, Jakarta pada tahun
1994—2016. Beliau telah membimbing penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Di
antara yang dibimbing dalam penulisan disertasinya sekarang telah menjadi guru
besar pula dan tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti
Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas
Hasanuddin (Makassar), STKIP Gorontalo, Universitas Sumatra Utara, dan
Universitas Lambung Mangkurat (Samarinda).
Sang
guru besar telah menjadi guru bangsa dalam cara mendidik masyarakat tentang
bagaimana seharusnya mengawal marwah bahasa Indonesia. Keteladanan Beliau
merupakan inspirasi bagi semua masyarakat Indonesia yang dipersatukan dengan
bahasa Indonesia.
Saat
memberikan kuliah, sosok Yus Badudu yang bersahaja memberi keberanian kepada
para mahasiswa untuk bertanya dan berdialog. Perasaan tegang menghadapi tokoh
besar bahasa itu sedikit demi sedikit hilang di antara mereka. Tidak ada lagi
keseganan para mahasiswa untuk mengajukan pendapat dan tanggapan. Yus Badudu hampir
selalu menjawab “ya” kepada setiap pendapat mahasiswanya, namun setelah itu
mengemukakan pendapatnya sendiri tanpa mengurangi makna yang disampaikan para
mahasiswa. Dalam konteks pembelajaran, beliau selalu membangun rasa percaya
diri peserta didik.
Melalui
televisi yang merupakan media audio-visual tunggal masyarakat saat itu, Yus
Badudu menjelma menjadi sosok guru bahasa bangsa yang dilihat dan didengarkan
oleh jutaan masyarakat Indonesia. Selamat jalan guru bahasa bangsa…(Dadang
Sunendar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar