Hikayat Antu Ayek
Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Sungai Batang
Hari Sembilan. Pengambilan nama Batang Hari Sembilan itu sebenarnya mengikut ke
pada adanya 9 anak sungai Musi . Sungai
terbesar di daerah ini yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian. Sebutan Batanghari Sembilan adalah suatu istilah tradisional untuk menyebut sembilan buah sungai besar
yang merupakan anak Sungai Musi,
yakni : Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Lematang, Leko, Ogan, dan
Komering.
Karena hampir semua wilayah di lalui sungai, kebudayaan
sungai sangat akrab dengan masyarakat asli daerah ini. Di beberapa wilayah (dusun) bahkan
mengandalkan aiiran sungai untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Ini dapat ditunjukkan dari kebiasaan
masyarakat di sekitar sungai yang mencuci baju dan membersihkan badan pada pagi
dan sore hari. Tidak heran jika kita
melintas di sepanjang aliran sungai pada waktu-waktu tersebut terlihat pemandangan yang kental dengan
masyarakat di tepi sungai. Penduduk yang
menggunakan kemban sedang beraktifitas di pinggiran sungai. Kalau kita amati lebih jeli lagi, kemban yang
mereka kenakan juga seragam bentuk dan ukurannya. Kemban putih yang sudah
berubah warna menjadi kecoklatan dengan bertuliskan Segi Tiga Biru. Kebiasaan
ini mendtradisi sampai sekarang pada masyarakat asli yang berjajar di pinggir
sungai.
Meskipun Sumatera
Selatan dikenal dengan daerah yang dikelilingi oleh Sembilan aliran
sungai, saat kemarau masyarakat di sekitarnya tetap kekurangan air bersih. Terutama
masyarakat yang tinggal di perkebunan atau perumahan. Tak pelak lagi, untuk
memenuhi kebutuhan air bersih mereka mengandalkan aliran sungai terdekat
terutama kebutuhan mandi dan mencuci pakaian
yang biasanya mereka lakukan langsung di sungai seperti halnya masyarakat
di sepanjang aliran sungai.
Seperti yang telah dilakukan oleh pemda setempat,
untuk mengantisifasi kondisi musim
kemarau yang hampir setiap tahun melanda warga Kabupaten Lahat, pemerintah
setempat menyediakan sarana tempat mencuci yang dibuat dari pondasi yang kokoh
dari semen yang dipelur rapi dan disediakan tangga untuk turunan ke sungai,
persis di bawah jembatan baru Sungai Lematang.
Begitu akrabnya
masyarakat di sini dengan kehidupan sungai, sehingga melahirkan berbagai budaya
termasuk diantaranya cerita rakyat yang berkembang di masyarakat sekitar
sungai.
*****
“Nyiseh kau Juani……nyiseh kau Juani….. Bujang Juandan nak ke ayek. (Nyingkir
kau Juani….Bujang Juandan mau ke sungai) Ucapkan sepuluh kali. Ame kaba nak ke ayek (Jika kalian hendak ke sungai). Mangke dide diganggu Antu Ayek (Biar tidak diganngu hantu sungai).”
Demikian mantra yang diajarkan oleh
orang-orang tua dusun kami, ketika anak-anak mereka hendak pergi ke Kali
Puntang atau ke Sungai Lematang , terutama mereka yang tidak terlalu akrab
dengan kehidupan sungai.
Mantra ini konon
dipercaya mampu menakut-nakuti Hantu Ayek, hantu penunggu sungai yang kerap meminta korban terutama anak
laki-laki setiap tahunnya karena ingin membalas dendam.
Kepercayaan masyarakat
dusun tentang keberadaan hantu Ayek diperkuat dengan adanya korban yang hanyut
di sungai ketika anak-anak mandi
beramai-ramai, tiba-tiba ada satu
diantara mereka yang menghilang dan ditemukan setelah tidak bernyawa. Kemarau belum berakhir jika sungai yang ada di
wilayah mereka belum memakan korban. Peristiwa
ini selalu terjadi setiap tahunnya. Jika
belum ada yang meninggal karena terseret arus sungai yang cenderung begitu
tenang, anak-anak yang hendak berenang atau mandi di sungai ketika musim
kemarau di ajarkan mantra ini sebagai perlindungan diri. Konon dipercaya hantu
ayek tidak akan mengganggu atau mengambil orang yang menyebut nama Bujang
Juandan.
Untuk lebih jelasnya
tentang mantra dan hikayat Hantu Ayek
yang berkembang dari mulut ke mulut,
akan saya ceritakan kembali hikayat tersebut disini.
Konon menurut cerita
yang berkembang. Dahulu kala di wilayah
Sumatera Selatan, hiduplah seorang gadis dari keluarga sederhana bernama Juani.
Gadis remaja yang hadir ditengah-tengah keluarga petani yang hidup di sekitar aliran sungai.
Juani dikenal
masyarakat sekitar sampai ke dusun-dusun tetanga sebagai gadis kampung yang
cantik jelita, ayu dan berparas
menyenagkan bagi orang yang memandangnya. Tidak seperti gadis dusun asli
pada umumnya yang berkulit putih pucat, Juani justru berkulit kuning langsat seperti putri-putri
dari kalangan kerajaan. Kulinya halus dan mulus tanpa ada gorengan sedikitpun
di tubuhnya.
Juani memilik rambut
yang hitam legam dan lebat. Seperti umumnya gadis dusun, Juani memelihara
rambutnya ini dengan membiarkannnya panjang. Dengan rambutnya yang panjang dan kerap terurai, semakin
menambah keelokan paras Juani.
Tidak hanya itu,
selain rupa yang menawan, Juani juga dikaruniai badan yang molek semampai. Jika
Juani berangkat mandi ke sungai selalu membuat orang melirik dan terkagum-kagum
akan kesempurnaan dirinya. Benar-benar bak gadis bangsawan meskipun dengan
tampilan yang sederhana tanpa polesan.
Karena kecantikan Juani
telah terkenal di kalangan masyarakat,
Jangankan mereka yang masih bujangan, mereka yang beristripun ingin
mempersuntingnya. Wajar kiranya jika
setiap kaum adam yang melihatnya mempunyai mimpi untuk bisa
duduk bersanding dengan Juani di Pelaminan.
Sadar akan kecantikan
yang dimilikinya, Juani tidak sembarangan dalam memilih pujaan hatinya. Ia
mempunyai kriteria-kriteria khusus dalam memilih pasangan. Setiap bujang yang
bertandang untuk melamarnya selalu ia tolak dengan berbagai alasan. Setiap orang
tua yang datang untuk memintanya menjadi menantu di keluarganya, pulang dengan
kekecewaan. Gadis Juani belum mau menentukan pilihan hati kepada satu bujang
pun di kampungnya yang berniat untuk meminangnya.
“ Kengape pule kaba ni
Juani (kenapa kau Juani), jeme
betandang nak berasan kaba tolak gale (orang
datang hendak meinang kau tolak semua).” Ujar ibu Juani pada suatu
kesempatan ketika mereka sedang bersantai
“ Kageklah Mak, belum
ade yang cocok. (nantilah bu, belum ada
yang cocok)” Jawab Juani singkat
“Dimak tegajul kaba
tu, mileh-mileh ka dide kepileh (Jangan
sampai kecele, milih-milih malah tidak
ada yang memilih nantinya). Jadi gadis tue pule (jadi gadis tua nanti).” Oceh ibunya lagi
“Iyo Mak, gek
dipikirke (iya bu, nanti saya pikirkan)”
Jawab Juani singkat
Hingga pada suatu
saat, kemarau panjang melanda desanya. Tak tanggung-tanggung, semua perkebunan
kering kerontang kekurangan air. Semua tanaman gagal panen. Masyarakat yang
bergantung pada hasil bumi tidak mempunyai penghasilan lagi. Musim paceklik di
mana-mana.
Bapak Gadis Juani yang
hidupnya bergantung dari hasil bumi tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan
keluarganya karena hasil tanamannya gagal semua. Pohon kopi yang menjadi
sandaran utama keluarga itu bunganya rontok dan tidak bisa menjadi buah. Sayur
mayur yang ditanam tidak bisa tumbuh. Sehingga kebutuhan makan yang sehari-hari
mengandalkan hasil menjual sayur mayurnya tidak bisa diharapkan lagi. Kemarau
ini berlangsung cukup lama, sampai-sampai tanah perkebunan mereka pecah-pecah
karena kekurangan air. Tak ada lagi yang bisa di makan dari hasil kebunnya ini.
Kondisi yang seperti
ini, memaksa bapak Gadis Juani terlibat hutang dengan rentenir yang kaya raya
di kampungnya. Uang yang mereka pinjam kian dari kian bertambah dan belum ada
hasil kebun yang bisa dijual untuk membayarnya. Akibatnya hutang mereka kian
menumpuk karena modal dan bungan pinjaman yang belum bisa dibayar.
“Kapan kaba ka nyicil
utang tu mang (Kapan kamu akan menyicil
hutangmu)? Utang lame belum di bayar, nak pinjem duit lagi (Hutang lama saja belum dibayar, mau pinjem
lagi). Pake apo mbayarnyo (Pakai apa
membayarnya)?.” Ujar Rentenir
keliling yang kerap dipinjami uang oleh bapak Juani akhir-akhir ini.
“Kageklah, kemarau
masih lanjut (nantilah, kemarau belum
usai). Katek hasil kebon yang biso ku jual (tidak ada hasil kebun yang bisa saya jual). Nak dapet duit dari
mano awak nih (mau dapat uang dari mana
aku). Amo la musim penghujan, biso panen lagi (kalau sudah musim hujan lagi,bisa panen). Pacak bejual ke kalangan
(Bisa berjualan di pasar sepekan).
Biso kucicil utang tu (bisa kucicil
hutang-hutangku).” Ujar bapak Juani member alasan.
“Biso diatur kalo
bayar utang tuh, amo nak nambah duit jugo biso (Bisa diatur soal pembayaran hutan, mau nambah uang juga bisa). Ado
syaratnyo tapi (hanya saya ada syaratnya)?”
sambung renternir itu memberikan alternatif
“Apo itu (apa itu)?”
tanya bapak Juani singkat
“Kawenkan anak gadis
kabatu dengan bujang kami (Nikahkan anak
gadismu dengan anak laki-laki kami). Lunas utang-utang kamu berikut
bungonyo (Lunas semua hutang-hutamu
berikut bunganya).” Ujar rentenir itu mengutarakan maksudnya
“Amo itu, bukan aku
yang jawab (Kalau itu, aku tidak bisa
menjawab). Ku tanyoke dulu nga budak
tu (kutanyakan dulu pada anakku dulu).”
Jawab bapak Juani yang sedikit terkaget dengan ide gila rentenir itu.
“Terserah kaba (Terserah kamu). Bayar utang samo
bungonyo sekarang apo kawenke gadis kamu tu dengan anak aku (Bayar hutang berikut bunganya sekarang atau
nikahkan anakmu dengan anakku). Sebelum ado jawaban, dak katek pinjeman
tambahan (Sebelum ada jawaban, tidak ada
lagi pinjaman).” Tambahnya lagi sambil meninggalkan bapak Juani.
Dengan sangat
terpaksa, bapak Gadis Juani akhirnya menerima tawaran dari rentenir itu
untuk menikahkan anaknya dengan anak rentenir itu yang bernama Bujang Juandan. Bujang Juandan
adalah putra satu-satunya dari keluarga
rentenir yang kaya raya itu. Pemuda yang
bisa disebut sudah sangat cukup umur untuk menikah di dusunnya karena umurnya
yang sudah berkepala tiga.
Meskipun putrinya
dipinang oleh keluarga yang kaya raya, tak menjadikan bapak Juani bahagia.
Bujang Juandan yang akan menjadi menantunya itu
bukanlah pemuda tampan. Bukan itu saja, selain dikenal pemuda yang buruk
rupa di kampungnya, Bujang Juandan juga
menderita penyakit kulit di sekujur tubuhnya, yang tidak pernah bisa disembukan
sejak kecil. Sehingga orang-orang
menyebutnya Bujang Kurap.
Mendengar kabar
pinangan bapak Bujang Kurap, Gadis Juani pun bersedih hati. Ingin menolak namun
tak kuasa karena kasihan kepada bapaknya. Setiap ditagih hutang dan belum bisa membayar
selalu di marah-marah oleh rentenir itu. Kecintaan ia pada orang tuanya
memyebabkan ia pasrah tentang perjodohan itu.
“Amo kaba keberatan,
bapak dak makso nak (Jika engkau
keberatan, bapak tidak memaksa nak). Kaba anak bapak sutek-sutek’e (Kamu anak bapak satu-satunya). Apo bae
yang kau minta pasti bapak pilok’i (Apa
yang kamu mau, pasti bapak ikuti). Utang kito biso dicicil kalo la musim
ujan kagek (Hutang bisa kita cicil jiga
sudah musim penghujan lagi). Sementaro ini kito tahan laper (Sementara ini
kita tahan lapar). Makan apo yang maseh biso di makan nak (Makan apa yang masih bisa kita makan)” Jelas bapak Juani degan
sangat hati-hati saat mengutarakan keinginan rentenir itu pada anak gadisnya.
“Idak pak, apo bae
pasti Juani kasih buat bapak (Tidak pak,
apa saja akan Juani jalani untuk bapak). Kalo memang itu yang biso bikin
bapak lepas dari tumpukan utang, Juani iklas (Jika itu yang bisa membebaskan bapak dari hutang, Juani Iklas).”
Ujar Juani meyakinkan bapaknya.
Berhari-hari ia
menangisi nasibnya yang begitu malang. Kenapa tidak dari dulu ia menerima
pinangan pemuda yang datang. Kesombongannya, kebanggaannya pada kecantikan yang
dimilikinya justru berbuah celaka. Apa hendak di kata, tak ada yang bisa mengembalikan
waktu yang telah berlalu. Gadis Juani hanya bisa menyesali keangkuhannya selama
ini.
Air mata yang keluar
tak bisa mengubah keadaan. Rencana pernikahan merekapun telah dipersiapkan
secara matang. Sebagai anak satu-satunya dari keluarga yang kaya raya, membuat
bapak Bujang Juanda menggelar pesta secara besar-besaran. Selain senang akan
anaknya yang telah menemukan jodohnya, calon istri putranya itu adalah gadis
paling cantik di seantora dusun.
Pesta pernikahan pun dipersiapkan
dengan matang. Sesuai adat dusun setempat, seminggu sebelum perayaan, orang-orang
sekampung ikut sibuk di rumah Gadis Juani sebagai calon mempelai perempuan.
Bujang Gadis di dusun pun tak kentinggalan, mereka siang dan malam membatu
segala persiapan mulai dari tempat yang nyaman untuk undangan hingga hidangan untuk santapan. Suasana yang penuh
suka cita dan dijadikan ajang silaturahmi oleh warga dusun ini tidak menjadikan
Juani gembira. Ia tetap mengurung dirinya di kamar.
Waktu yang paling
dinantikan Bujang Juandan pun tiba. Tibalah malam perkawinan yang telah ditentukan bagi
keduanya. Gadis Juani yang cantik itu dirias secantik mungkin dan mengenakan pakaian pengantin yang begitu
anggun. Orang yang melihatnya dengan pakaian pengantin itu terkagum-kagum.
“Begitu beruntungnya
si Bujang Kurap Itu. Berjodoh dengan kembang desa yang begitu mempesona. Apa
hendak di kata, kalau bukan takdir yang mempertemukan mereka” begitu
bisik-bisik orang yang melihat Gadis Juani. Tentu saja pandangan mereka penuh dengan rasa
iba dan kasihan.
Usai di rias, Gadis
Juani menunggu di kamar tidurnya. Semua keluarga yang hadir menunggu kedatangan
calon mempelai di ruang tamu. Di panggung depan juga ramai bujang gadis yang
sedang bercengkrama dan warga sekitar yang ingin menghadiri pernikahan. Gadis
Juani tetap di kamarnya dan tak ingin
ditemani siapapun. Ia terdiam di tempat tidurnya yang sudah dihias dan
bertabur aneka bunga sambil berurai air mata.
Dari kejauhan
terdengar arak-arakan pengantin pria. Sanak keluarga dan tamu yang ada di
kediaman Juani bersiap-siap menyambut kedatangan besan. Semua yang berada di rumah panggung ciri khas penduduk dusun,
turun menyambut arak-arakan rombongan Bujang Juandan. Mendapati ketegangan
bercampur kegembiraan semua orang yang ada di sekitarnya membuat hati Gadis
Juani semakin hancur.
Di tengah kesibukan orang menyambut arakan yang kian mendekat, kekalutan
Gadis Juanipun kian menjadi. Tak bisa ia berdiam diri atas
semua ini. Terbayang olehnya cibiran semua orang ketika ia bersanding dengan
Bujang Juandan di pelaminan. Sebagian dari mereka yang pernah ditolak
pinangannya mungkin akan bersorak atas jodoh pilihan orang tuanya. “Berharap
mendapat durian yang paling manis, malah mendapat tempoyak yang masam”
begitulah perumpamaan yang tepat untuk dirinya.
Ia juga tak kuasa
melihat tatapan iba dari keluarga dan orang tuanya. Belakangan ini, ketika
orang sibuk mempersiapkan pernikahan anaknya, Gadis Juani menagkap kesedihan
yang mendalam dari muka bapaknya. Bapak mungkin tak punya pilihan, seperti
halnya dirinya. “Kasian bapak, akibat ulahku selama ini, bukan saja aku yang
menanggung malu. Bapak juga ikut merasakan murka dari yang maha agung atas
sikapku selama ini” isak Gadis Juani makin menjadi.
Sekejap, terlintas
sebuah keputusan, dengan berurai air mata yang kian tak terbendung, ia keluar
lewat pintu belakang. Menuruni anak tangga yang terbuat dari bulatan kayu. Meskipun dengan berpakaian pengantin yang
lengkap dan membuat langkahnya tak begitu leluasa. Gadis Juani tetap berlari menuju sungai yang tak jauh dari
rumahnya dengan telanjang kaki. Tak ada yang sadar akan kepergiannya. Semua
sedang bersuka ria menyambut calon suaminya.
Gadis Juani menghentikan langkahnya di bibir
sungai yang curam. Ia memandang kedalam sungai yang ada di bawahnya. Airnya
yang begitu jernih terlihat di bawah
sinaran bulan purnama. Terbayang raut muka suaminya yang begitu buruk dengan
kulit yang dipenuhi kurap. Apalah artinya hidup dengan kemewahan yang
berllimpah jika ia sendiri tak sudi hidup dengan bujang kurap yang ditakuti
anak-anak dan menjadi bahan ledekan mereka. Membayangkan semua itu, akhirnya
dengan berurai air mata Gadis Juani pun mengakhiri hidupnya dengan terjun ke
sungai.
Kepergiannya baru
disadari ketika pengantin laki-laki tiba dan orang tuanya ke atas menjemput anaknya. Mendapati kamarnya
yang kosong dan pintu belakang terbuka, membuat ibunya berteriak dan mengundang
perhatian semua orang yang berada di sana. Bapak Gadis Juani yang diikuti ibu
dan para tamu lainnya segera berlari menuju sungai. Mereka berteriak memanggil
calon penganti.
“Juani….Juani…dimane
kaba, nak (dimana kamu,nak)?” teriak
bapaknya sekeras-kerasnya
“Juani, jangan nekad
nak, pacak kite rembuk’a ame kamu berubah pikiran (bisa kita bicarakan kalau kamu berubah pikiran). Umak dide ke
makes kaba nak (Ibu tidak akan memaksa
kamu nak)!” teriak ibunya tak kalah histeris.
Tak ada sahutan dari
putrinya. Sungai disekitar mereka begitu tenang
dengan sejuta misteri di dalamnya. Pencarian pun sia-sia. Menjelang
tengah malam satu persatu warga meminta diri pada orang tua Gadis Juani.
Keluarga mempelai laki-laki juga melakukan hal yang sama. Mereka pulang dengan
perasaan sedih dan penuh kecewa. Orang tua dan beberapa sanak keluarga tetap
melanjutkan pencaria. Menyisiri tepi sungai dengan tak henti-hentinya memanggil
nama gadis itu. Ketika matahari menampakkan sinarnya, mereka baru memutuskan
untuk kembali ke rumah untuk istirahat.
Dua hari pencarian
tidak membuahkan hasil. Tak ada kabar dari hilir sungai tetang temuan mayat.
Meyakinkan kedua orang tuanya bahwa anaknya baik-baik saja. Usaha bapak Gadis Juani untuk menemukan
anaknya tetap diteruskan hingga beberapa dusun di pinggiran aliran sungai. Tak
lupa ia menanyakan pada warga dusun yang disinggahi prihal penemuan orang di
sungai.
Dihari ketiga
pencarian, ketika bapak Gadis Juani yang ditemani dua keluarga terdekanyat melintas di pasar
kalangan. Warga yang sedang belanja bercerita kepada pedagang yang berasal dari
luar dusun, prihal ditemukannya mayat perempuan tak dikenal. Lemas seketika si
bapak mendengar berita itu. Setelah mencari kepastian tentang apa yang
didengarnya itu, ia meminta izin pada warga setempat untuk membongkar makam
perempuan yang tak mereka kenal itu. Benar saja, setelah makam itu di gali ia
masih mengenali anak gadisnya itu meskipun sekujur tubuhnya membengkak dan
mulai membusuk. Isak tangis bapak Gadis
Juani tak terbendung, begitu juga kedua orang yang menemaninya.
Kematiannya yang penuh
derita menjadi buah pembicaraan warga hingga ke dusun tetangga. Sejak peristiwa
itu, konon selalu terdengar suara tangis seorang gadis saat bulan purnama yang
berasal dari sungai. Warga setempat meyakini itu adalah tangis Gadis Juani yang menjadi arwah penunggu sungai. Wargapun
menyebutnya sebagai Antu Ayek. Setiap tahunnya arwah ini
selalu mencari korban, terutama anak-anak anak laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar