Kalau
Bisa Ditutup Kenapa Dibiarkan Terbuka?
Dalam suatu
pertemuan Prof. Arief Rahman pernah mengatakan, “Pendidikan di Indonesia hanya
mengantarkan anak didiknya memperoleh ijazah dan memperoleh kerja namun belum
mampu megantarkan mereka mengenalkan
Tuhannya dan menuju surga” Yang saya garis bawahi dari perkataan beliau adalah
pada kalimat pertama “Hanya mampu mengantarkan anak didiknya untuk
memperoleh ijazah dan memperoleh kerja” kalimat ini sangat mewakili
gambaran pendidikan di negeri kita sekarang ini.
Sebut saja SMP
Terbuka, contoh yang nyata di hadapan kita. SMPT diselenggarakan untuk
mengatasi siswa yang tidak bisa mengikuti belajar di sekolah regular karena berbagai
hambatan,misalnya keterbatasan ekonomi (harus membantu orang tua bekerja) atau
lokasi. SMPT dalam penyelenggaraannya dilaksanakan di Tempat Kegiatan Belajar
(TKB),biasanya dikelola oleh masyarakat yang peduli akan pendidikan. Mereka
hanya diwajibkan belajar 16 jam/minggu atau 2-4 hari di TKB dan 1-3 hari di
sekolah induk (SMP Negeri) diwilayah masing-masing.
Sekolah yang
menjangkau anak yang tak terjangkau ini bisa dikatakan sudah disalah artikan
oleh masyarakat yang tinggal si sekitar sekolah penyelanggara. Mereka
beranggapan bahwa,siswa SMP Terbuka itu merupakan kelas siang dari sekolah
induk yang ditumpangi (apalagi sekolah induknya merupakan sekolah
pavorit),sehingga tak heran jika jumlah yang mendaftar ke SMPT tak terbendung
jumlahnya.
Saya masih ingat
betul saat PSB SMPT,kebetulan tempat saya mengajar merupakan sekolah induk dari
SMPT yang mempunyai jumlah murid terbanyak di Indonesia, para orang tua yang
bertanya mengenai informasi pendaftaran bisa dikatakan rata-rata mampu secara
finasial (dilihat dari penampilannya). Datang ke sekolah mengendarai motor
dengan harga di atas tara-rata. Si Ibu mengenakan perhiasan bak toko emas
berjalan. Mereka hanya berbekal surat
keterangan tidak mampu dari pejabat lingkungan untuk diterima di SMPT melalui
TKB yang ada di wilayahnya.”Wah ibunya secantik dan serapi ini kok anaknya
didaftarin ke terbuka si bu?” Mereka menjawab “Saya mah ngontrak bu di
Jakarta,bapaknya juga tidak punya pekerjaan tetap” Sebagian orang tua ini hanya melihat kalau
anaknya bisa diterima di SMPT bisa sekolah gratis, dan banyak bantuan yang
diterima. Selain KJP mereka juga mendapat BLT,tanpa mempertimbangkan hasil
belajar anak yang bersangkutan.
Karena mereka
lebih banyak belajar di TKB,kualitas belajarnya pun tidak bisa di samakan
dengan anak regular. Apalagi jika guru yang mengajar di TKB jumlahnya terbatas.
Satu atau dua guru pamong harus mengampu beberapa mata pelajaran. Meskipun
mereka belajar menggunakan modul,tapi tingkat penguasaannya pada mata pelajaran
bisa dikatakan jauh stadar ketuntasan.
Anak-anak yang kesehariannya
memang tidak mempunyai kendala dalam belajar ( tidak membantu orang tua) bahkan
lokasi sekolah disekitar rumah ini,akibatnya banyak menghabiskan waktu dengan
bermain dan bersenang-senang. Tanpa memikirkan apa yang mereka dapat dari
bangku sekolah. Akibatnya bisa dikatakan anak-anak ini lebih banyak yang jauh
dari kematangan,dalam hal ilmu pengetahuan dan keagamaan. Sehingga mudah
terpancing pada hal-hal yang bersifat negative.
Pihak sekolah
tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Disatu sisi sekolah tidak bisa menolak
jika ada warga sekitar datang dengan berbekal surat tidak mampu untuk mendaftar
di SMPT,disisi lain orang tua juga hanya menitipkan anak-anak mereka agar
mendapatkan ijazah,gratis,bahkan dapat bantuan ini itu lagi. Atas usaha keras
pihak sekolah dengan melakukan survey saat PSB jumlah penerimaan siswa yang
tadinya sampai 6 rombel menjadi 4 rombel. Dengan masing-masing robel sekitar
40-42 siswa.
Jika hal ini
berkelanjutan,mau dibawa kemana arah pendidikan di negeri ini. Program yang memang
diselenggarakan untuk mengentaskan pendidikan dasar ini justru dimanfaatkan
oleh orang-orang yang salah mengartikan. Akhirnya pendidikan bukan lagi
mengentaskan kebodohan,justru melahirkan generasi yang tidak mampu rapuh dan
pasrah. Dari sekian anak yang tercatat sebagai siswa SMPT bisa dikatakan hanya
30-40%nya saja yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan berprestasi.
Selebihnya hanya bermalas-malasan. Mereka hanya menginginkan ijazah bukan
pengetahuan untuk memperbaiki kehidupan.
Semoga pemerintah
bisa merevisi keberadaan SMPT ini. Dengan adanya pendidikan gratis,semoga
anak-anak ini bisa diregulerkan. Kalau
bisa ditutup kenapa dibiarkan terbuka? Kasian anak-anak kita,masuk angin! Jika memang
keberadaan SMPT masih diperlukan perlu adanya aturan yang lebih tegas. Agar
yang sekolah disitu memang orang-orang yang punya kendala untuk sekolah di regular.
Ini Jakarta,fasilitas pendidikan lengkap,setiap sisi wilayah berdiri
sekolah-sekolah pemerintah. Kenapa masih ada TKB yang menumpang di fasilitas social/umum. Anak-anak berhak
mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan para orang tua juga harus sadar
mereka mempunyai kewajiban untuk memberi pendidikan pada anak-anaknya. Dengan
kemapuan akademis yang mumpuni mereka tidak hanya mendapatkan ijazah,mereka
bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat merubah kehidupan keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar