Ada
Guru di Barisan Buruh
Kuparkirkan
Honda Beatku di parkiran IRTI Monas. Hari ini aku bersama teman-teman
seperjuanganku dari beberapa wilayah berencana merapatkan barisan ke depan
Istana Negara. Menyampaikan aspirasi kami sebagai guru honor di sekolah negeri.
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 9.10 WIB Suasana disekitar sudah mulai di padati buruh.
Ya….Mayday,demikian orang menyebutnya.
Kuayunkan
langkahku menuju Istiqlal. Tempat dimana kami akan mengawali perjuangan hari
ini. Disana telah menanti puluhan teman-temanku dari DKI. Dibarisan yang lain
juga telah siap teman-teman dari Bekasi,Jambi,Cirebon, dan wilayah-wilayah
lain.Jumlah yang hadir tidak sesuai perkiraan. Di DKI Jakarta tercatat 13.000
guru honor yang kami miliki. Namun yang hadir disini tidak lebih dari 200
orang. Kenapa mereka hanya bisa mengeluh di Facebook jika mereka di bayar tidak
manusiawi? Kenapa mereka hanya berteriak kala tidak bisa diikutkan sertifikasi
padahal sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah negeri? Apakah mereka malu,dengan
baju safari yang dikenakannya setiap hari jika harus merapatkan barisan di
sini? Padahal mereka sangat mengininkan perubahan hidup. Ingin keberadaannya
diakui. Berbagai pertannyaan memenuhi kepalaku.
Setelah
koordinator masing-masing wilayah berdiskusi. Akhirnya kami menyatukan barisan.
Jumlahnya tidak lebih dari 800 orang. Korlap Bekasi yang membawa picup memimpin
barisan paling depan. Setelah koordinator DKI memimpin doa kami siap turun ke
jalan,menelusuri jalan Juanda menuju Istana. Aku sudah mempersiapkan diri
dengan memakai sepatu yang nyaman dan penutup kepala. Pelindung dari sengatan
matahari yang mulai membakar ibu kota.
Sepanjang
jalan mobil-mobil yang melintas bersikap sangat sopan. Mereka menghentikan
kendaraan,memberi kami jalan. “ Kok guru ikutan demo ya,ini kan hari buruh” terdengar
suara pengemudi yang membuka kaca jendelanya dan memberi kami semangat dan
melemparkan senyuman. “Ayo bapak-bapak….Ibu-ibu selamat berjuang” ujar
penumpang yang lain. Beberapa diantaranya ada yang jeprat-jepret menggunakan HP
nya. Entah untuk kepentingan apa. Tak berapa lama rombongan kami pun sudah membaur
dengan lautan buruh di silang Monas.
Sebelum
melanjutkan perjalanan. Rombongan berhenti sesaat. Korlap merapikan kembali
barisan kami dan memberikan wejangan. “Ingat ya teman-teman. Kita disini guru.
Jangan terbakar emosi dalam berorasi. Tetap menjaga kesantunan kita. Rombongan
akan diposisikan berada di barisan paling depan. Jumlah kita yang sedikit biar
terlihat oleh bapak Presiden yang menurut info sedang menuju istana. Tetap jaga
jarak” jelasnya panjang lebar.
Ini
pertamakalinya aku turun ke jalan setelah belasan tahun mengajar. Ribuan manusia memenuhi jalan ini. Situasi
istana juga sudah dijaga ratusan petugas keamanan. Setelah sampai di pintu
monas kami menghentikan langkah kami. Aku mengambil posisi barisan di pinggir
kanan. Di depan kami juga siap pagar dari petugas keamanan. Ada rasa haru di
sini. Antara semangat yang berkobar,was-was dengan lautan manusia yang mulai
tidak terkendali dari arah yang berlawanan. Korlap bergantian membacakan
orasinya. Lantunan lagu Umar Bakri tak henti-hentinya terdengar dari picup yang
dikendarai korlap Bekasi.
Matahari sudah meninggi.
Perwakilan kami sudah ada yang dipanggil pihak istana bersama korlap buruh yang
lainnya. Aku dan para demonstran lainnya tetap menunggu di barisan. Bajuku
mulai basah oleh peluh. Sesekali terdengar petugas keamanan yang berteriak dari
arah yang berlawanan menertibkan barisan buruh yang mulai memanas. “Ibu…?”
terdengar suara dari sebelahku.
Aku memalingkan muka kearah
suara itu. “Tak ada yang sedang menyapa” pikirku dalam hati. Hanya barisan
polisi yang siaga di tempat ini.
“Ibu Luzy” suara itu
terdengar lebih jelas lagi
Aku memalingkan kearah
datangnya suara tadi. Suara yang berasal dari barisan polisi yang berbaris rapi
di sisiku. Kuamati wajah mereka satu persatu. Tatapanku terhenti pada wajah
yang begitu akrab denganku. Wajah yang selalu menyapaku setiap hari, enam tahun
yang lalu.
M.Arsya Ramadhan. Nama yang
terbaca dari nametag seragam dinas yang dikenakan laki-laki berusia dua puluhan
tahun itu. Wajahnya lebih bersih dari yang aku kenal dulu. Lebih segar dan
sehat. “Iya. Itu Arsya. Waktu dia kelas delapan aku wali kelasnya” ingatku
seketika. Anak yang ditinggal ibunya sedari umur lima tahu. Ia hanya tinggal
berdua dengan ayahnya. Setiap pagi anak itu sering pingsan. Ternyata ia sering
menahan lapar. Ayahnya jarang pulang ke rumah, kadang seharian ia tidak bertemu
nasi.Anak yang tidak diurus ayahnya yang suka mabok-mabokan dan judi.
Sejenak kami saling
pandang. Tatapannya penuh dengan berjuta pertanyaan. Matanya terlihat begitu
haru melihatku. Aku tak bisa melihat tatapan itu berlama-lama. Berbagai
perasaan berkecamuk di hatiku. Akhirnya aku hanya bisa memaksakan tersenyum pada
anak itu,sebelum tertunduk menahan haru.
***
Jam ditanganku sudah
menunjukkan pukul setengan tiga. Korlap yang sedang bernegosiasi di istani memberi
pesan agar kami membubarkan barisan. Aku dan rombongan guru lainnya sudah
menepi. Membubarkan diri dengan rapi.
Aku menuju parkiran dimana
aku menitipkan motorku. Namun aku merasa ada langkah yang mengikutiku. Aku
memperlambat ayunan langkahku. Ternyata benar, Arsya telah berjalan
disampingku.
“Saya sedih dipertemukan
dalam situasi begini. Airmata ini menetes. Mendapati orang yang paling berjasa
dalam perubahan hidupku turun ke jalan” ujar anak itu memulai pembicaraan. Aku
menghentikan langkahku. Menatap anak itu dengan tajam. “Belum tentu yang baik
itu sesempurna yang kau lihat. Hampir dua puluh tahun ibu mengajar. Mengabdikan
diri sebagai pendidik dengan upah yang jauh dari kata manusiawi, Ini kesempatan
ibu untuk ikut barisan. Sedikit harapan yang tersisa,jika kesempatan untuk
menjadi pegawai negeri terlewati paling tidak dihargai dengan cara bisa
disertifikasi” jelasku panjang lebar
Saya tidak mengira kalau
selama ini ibu masih honor. Bagi saya ibu ada motivator dalam hidup saya. Saya
ingat betul kala itu, setiap pagi ibu
selalu member saya uang untuk membeli sarapan. Menasehati saya agar mampu
menjadi jiwa yang mandiri. Tidak bergantung pada ayah. Atas saran ibu juga
sepulang sekolah,ketika teman-teman sudah sepi meninggalkan sekolah satu persatu,
aku memunguti botol minuman dan mengumpulkannya di halaman belakang. Dari uang
penjualan rongsokan yang aku kumpulkan aku bisa membiayai sekolahku. Hingga aku
bisa seperti ini. Orang yang menjadi inspirasi dalam hidup saya. Agen
perubahan,yang mampu mengubah Arsya yang mudah putus asa menjadi anak yang
tegar dan mampu berjuang untuk diri sendiri.
“Itulah guru nak, dalam
kondisi apapun dia harus mampu member energy positif pada anak didiknya. Ibu
merasa bangga bisa bertemu kamu dalam kondisi kamu yang sudah mampu menjadi
pribadi yang sekarang ini. Apalagi mendapati kamu masih mengingat ibu,itu
merupakan penghargaan tersendiri” ucapku berusaha bijak
“Ibu yakin,diluar sana
masih banyak Luzy Luzy yang lain. Bisa mencetak generasi penerus yang sukses
sementara nasibnya sendiri jalan ditempat. Pilihan menjadi guru bisa saja tidak
pernah mereka sesali. Namun dikotomi guru yang mereka tangisi. Semua mempunyai
tanggung jawab yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa,tapi kenapa hak yang
mereka terima terlihat terlalu didiskriminasi” Lanjutku lagi
Sudahlah nak,setiap manusia
punya jalan hidupnya sendiri. Kita hanya bisa berusaha yang terbaik untuk hidup
ini selagi mampu. Jika itu tidak membuahkan hasil seperti yang kita inginkan.
Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih indah. Kutepuk bahu anak itu. Dia pun
membalas dengan menjabat tanganku dengan erat.
“Terima kasih atas semua
yang sudah ibu berikan padaku. Aku bangga bisa dipertemukan dengan guru seperti
ibu” ucapnya dengan suara sedikit gemetar
Kutepuk-tepuk kembali
bahunya. Kulepas jabatan tangannya. “Sudahlah tak perlu larut. Ibu pamit dulu.
Hari makin sore. Sebelum rombongan buruh membubarkan diri,ibu harus pulang.
Kalau tidak bisa terjebak di jalanan” ucapku berusaha mencairkan suasana.
Aku meneruskan langkahku.
Arsya masih diam menatapku ditempatnya berdiri. Setelah mendapati motorku yang
terparkir dari pagi,aku memakai perlengkapan pengendaraku. Menstarter kendaraanku.
Kulampaikan tangan pada Arsya yang masih setia menungguku berlalu sebelum
meninggalkan parkiran ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar