media dan sumber belajarnya sugianti bisri

Cerbung

Sugianti Bisri | Minggu, Juni 28, 2015 |
Kabutnya Ramadhan Ayu
(bagian satu)

Ayu selesai  mengemasi pakaian yang akan dibawanya. Lima stel pakaian  lengkap  telah ia masukkan ke dalam tas parasutnya. Tak lupa pula perlengkapan sholatnya.   Mukena putih itu sudah terlihat sangat lusuh.  Mukena yang dibelikan bapak tiga tahun yang lalu ketika ia akan  ujian praktek sholat menjelang kelulusan SD. Mukena yang selalu dia kenakan untuk sholat, baru bisa dicuci jika ia sedang datang bulan.  Dibolak-baliknya mukena putih itu, bagian leher dan kepalanya sudah menguning. “Ah….tapi ini satu-satunya milikku. Aku harus membawanya” Gumam Ayu. Ia lipat mukenanya itu, sebelum dimasukkan dalam tasnya.

Sore ini, tante Ratmi akan menjemputnya. Ini tahun kelima Ayu diminta adik bapaknya itu untuk bantu-bantu di rumahnya. Sebagai pengusaha warung makan terbesar di daerahnya, saat puasa ia membutuhkan tenaga bantuan untuk menyiapkan menu  sahur dan buka puasa yang ia jual di warungnya.
Hari ini sekolahnya mulai libur. Masuk lagi usai lebaran. Sejak panggilan Ashar berkumandang, Ayu mengurung diri di kamar. Usai sholat ia memang berniat berkemas-kemas. Bapaknya sejak pagi sudah pasang mimik masam. Ayu tak berkeinginan lagi membicarakan prihal keinginannya. Selain mengikuti kemauan orang tuanya, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan
*****
Ayu mendengar percakapan bapak via telpon lusa yang lalu. Dalam percakapan itu, tante menegaskan kalau mau menjemputnya sehari menjelang Ramadhan. Terdengar suara bapak yang meyakinkan kalau Ayu sudah siap kapanpun di jemput. Ayu hanya bisa menghela nafas panjang. “Kenapa tidak ditolak,Pak?” teriak Ayu dalam hati.
Ayu pernah menjelaskan tentang keberatannya ke rumah Tante Ratmi jauh sebelum Ramadhan. Ayu ingin tahun ini menikmati ibadah puasa di rumah dengan keluarga. Kebetulan dia juga sudah punya acara dengan teman-temannya.
“ Mereka itu keluarga bapak satu-satunya Ayu. Tidak baik jika menolak membantunya. Toh iya minta tolong sama kita Cuma sekali dalam setahun” ujar bapak menjelaskan ketika Ayu mengutarakan keberatannya.
“Tahun ini Ayu sudah naik kelas 9 Pak, umur Ayu sudah 16 tahun. Ayu mau belajar mengaji. Ayu malu Pak, kalau belajar agama di sekolah dan disuruh membaca Alquran Ayu masih terbata-bata. Padahal Ayu sendiri selalu ranking pertama di kelas.” Ujar Ayu menjelaskan.
“Ngaji kan bisa abis lebaran, jangan cari-cari alasan Ayu. Bapak sudah berjanji sama tantemu. Jangan bikin malu orang tua.” lanjut Bapak dengan suara yang mulai meninggi.
“Ayu mau Pak, Cuma kan ga harus nginep. Ayu bisa berangkat setelah sahur dan pulang sebelum buka. Jadi Ayu masih bisa ikut pesantren kilat di mesjid untuk belajar ngaji.” Tegas Ayu meyakinkan bapaknya lagi.
“Ayu!!  Kamu memang benar-benar keras kepala. Apa kamu ga denger Bapak bilang apa? Pokoknya kamu harus ke sana. Jangan bikin malu bapak.”
“Kenapa bukan mbak Sekar yang ke sana, Pak. Mbak kan ga punya kegiatan apa-apa. Ayu kan sudah empat kali Ramadhan di rumah tante, tahun ini gantian dulu. Mbak Sekar yang ke sana.”

Bapak tidak menjawab. Ia meninggalkan ruang tamu tempat kami duduk sebelumnya. Beranjak ke kamarnya dan membanting pintu sekeras-kerasnya. Ayu hanya menitikkan air mata. Bapak memang keras, selagi ia punya keinginan, tidak ada orang yang bisa melawan.

Ayu masih terdiam di tempat duduknya. Ayu sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak bermaksud membantah keinginan orang tua. Tapi Ia juga punya rencana Ramadhan sendiri. Kalau tidak sekarang belajar membaca Alquran, kapan lagi? Tahun ini remaja masjid di lingkungannya berencana mengadakan pesantren Ramadhan dengan salah satu agendanya “Memberantas Buta Alqur’an”. Belum tentu tahun depan punya kesempatan lagi. Apalagi Ayu termasuk dalam jajaran panitia penyelenggra. Kenapa Bapak tidak mau mengerti? Kenapa bukan mbak Sekar dulu yang menggantikan?

Ayu bukan ingin melepas tanggung jawab yang dipercayakan oleh Bapak pada saudara perempuannya itu. Cuma Ayu  berfikir,kakaknya itu sudah putus sekolah sejak ia kelas 5 SD. Hari-harinya hanya di rumah. Setelah membantu ibu memasak ia hanya menghabiskan waktu nonton sinetron. Berilah ia  kesempatan bersosialisasi dengan dunia luar. Supaya tidak kuper seperti yang di bilang orang-orang. Bagaimana tidak di bilang kuper, ia hanya keluar rumah jika membeli perlengkapan make-up atau membeli pakaian. Kalau ada acara remaja di lingkungan, kalau tidak dipanggil berulang-ulang dia ga akan datang. Itupun hanya datang, duduk, diam. Tidak bisa membaur dengan teman yang lain karena kudet informasi.

Ya…saudaranya itu memang pendiam. Ia berhenti dari sekolah karena ditegur saat tidak membuat pe-er oleh gurunya. Tersinggung dan tidak mau sekolah lagi. Bapak juga tidak pernah memotivasi ia untuk sekolah lagi.” Biarkan saja kalau Sekar ga mau sekolah. Kalau dimarahi malah ia setres dan ngamuk-ngamuk. Malah bikin repot. Banyak orang yang ga sekolah hidupnya berkecukupan. ” jelas bapak ketika ada tetangga yang bertanya. Meskipun kini mbak Sekar sudah berusia 19 tahun namun ia  kurang mandiri. Akibat terlalu di manja.

Ayu juga ingin mbaknya itu merasakan bagaimana tinggal di rumah tantenya. Selama ini kalau Ayu cerita apa yang dikerjakan di rumah tante, bapak dan ibunya tidak pernah percaya. Bapak dan ibu lebih percaya dengan apa yang dikatakan oleh adiknya itu.

“Tante Ratmi itu adek bapak Ayu! Bapak mengenalnya seperti bapak mengenal kamu. Mana mungkin ia berlaku kejam sama keponakannya sendiri. Jangan ngaco kamu. Ga mau berangkat kesana pakai cari-cari alasan menjelek-jelekan orang.” Begitu kata bapak ketika Ayu mengadu
“Kamu kan tau sendiri. Selama kamu di sana tentemu selalu mengirim apa yang dia masak ke rumah. Cukup  untuk makan bapak, ibu, dan kakakmu. Ia selalu bangga dengan hasil kerjamu yang bisa diandalkan. Selama puasa mana pernah ibumu masak. Semua sudah dicukupkan oleh tantemu. Ibumu jadi fokus bantu bapak di pasar, ga disibukkan dengan urusan makanan” Lanjutnya lagi
“Ia juga memastikan kamu cukup makan, cukup istirahat dan makin akrab dengan sepupu-sepupumu. Mana mungkin Bapak bisa percaya dengan apa yang kamu ucapkan.”  Jelas Bapak yang masih terngiang-ngiang di telinga Ayu

Ayu tidak bergerak dari tempat duduknya.  Masih diam  dengan kesedihannya. Bapak tidak mengerti dengan keinginannya. Tidak mau tau dengan rencana Ramadhannya. Tidak peduli dengan keluh kesahnya.

*****

Suara motor membuyarkan lamunan Ayu. Ia beranjak dari sisi tempat tidurnya, ingin tau siapa yang datang. Dari balik kaca jendelanya, Ayu melihat suami tantenya yang datang dengan Honda Tiger merahnya. Bapak membuka pintu pagar dan mempersilahkannya masuk.
“Jam segini sudah di rumah mas, tumben. Libur apa?” tanya paman membuka pembicaraan
“Buka sebentar tadi, jam 11 pulang. Digantiin ibunya anak-anak” jawab Bapak sambil mempersilahkan paman duduk.
Terdengar mereka bercakap-cakap diteras depan. Membicarakan burung-burung yang peliharaan Bapak. Ayu keluar membawa teh botol dingin untuk mereka berdua. Mendapati kehadiranku, mereka serempak menoleh ke arahku.
“Eh Ayu, sudah siap kan? Paman ga lama nih. Pulang kerja disuruh tante nyamperin kamu. Soalnya dirumah lagi pada repot banyak pesanan buat sahur  pertama besok. Ga ada yang bisa diminta bantuan untuk menjemputmu” sambut paman ketika melihat kehadiran Ayu.
“Ayu sudah siap dari tadi kok. Apa yang perlu dibawa juga sudah rapi. Tinggal berangkat”sambut bapak menimpali
“Ayu memang rajin mas, pantesan tantenya senang sama dia. Mandiri. Kerjaan rapi tanpa harus di suruh” sambung paman lagi.

Ayu hanya tersenyum simpul mendengar percakapan Bapak dan Paman. Setelah meletakkan teh botol yang dibawanya, ia kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengambil tas dari kamarnya dan membawanya keluar. Siap untuk ikut pamannya dan tinggal di sana selama bulan Ramadhan.

Mendapati Ayu sudah menenteng tas. Paman segera minta diri ke bapak. Ayupun melakukan hal yang sama. Setelah pamit dan mencium tangan bapak, Ayu mengikuti paman menuju motornya yang di parkir di depan pintu pagar. Ayu melihat bapak tersenyum manis melepas kepergian mereka. Motor yang ditumpangi Ayu pun melaju meninggalkan rumah. Dalam perjalanan Ayu lebih banyak diam, hanya menjawab “iya dan tidak” apa yang ditanyakan pamannya, “Sebulan kedepan, hari-hari yang melelahkan.” Bisik Ayu dalam hati.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar