Kabutnya Ramadhan Ayu
(bagian satu)
Ayu selesai mengemasi pakaian yang akan dibawanya. Lima
stel pakaian lengkap telah ia masukkan ke dalam tas parasutnya.
Tak lupa pula perlengkapan sholatnya.
Mukena putih itu sudah terlihat sangat lusuh. Mukena yang dibelikan bapak tiga tahun yang
lalu ketika ia akan ujian praktek sholat
menjelang kelulusan SD. Mukena yang selalu dia kenakan untuk sholat, baru bisa
dicuci jika ia sedang datang bulan.
Dibolak-baliknya mukena putih itu, bagian leher dan kepalanya sudah
menguning. “Ah….tapi ini satu-satunya milikku. Aku harus membawanya” Gumam Ayu.
Ia lipat mukenanya itu, sebelum dimasukkan dalam tasnya.
Sore ini, tante
Ratmi akan menjemputnya. Ini tahun kelima Ayu diminta adik bapaknya itu untuk
bantu-bantu di rumahnya. Sebagai pengusaha warung makan terbesar di daerahnya,
saat puasa ia membutuhkan tenaga bantuan untuk menyiapkan menu sahur dan buka puasa yang ia jual di
warungnya.
Hari ini
sekolahnya mulai libur. Masuk lagi usai lebaran. Sejak panggilan Ashar
berkumandang, Ayu mengurung diri di kamar. Usai sholat ia memang berniat
berkemas-kemas. Bapaknya sejak pagi sudah pasang mimik masam. Ayu tak
berkeinginan lagi membicarakan prihal keinginannya. Selain mengikuti kemauan
orang tuanya, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan
*****
Ayu mendengar
percakapan bapak via telpon lusa yang lalu. Dalam percakapan itu, tante menegaskan
kalau mau menjemputnya sehari menjelang Ramadhan. Terdengar suara bapak yang
meyakinkan kalau Ayu sudah siap kapanpun di jemput. Ayu hanya bisa menghela nafas
panjang. “Kenapa tidak ditolak,Pak?” teriak Ayu dalam hati.
Ayu pernah
menjelaskan tentang keberatannya ke rumah Tante Ratmi jauh sebelum Ramadhan. Ayu
ingin tahun ini menikmati ibadah puasa di rumah dengan keluarga. Kebetulan dia
juga sudah punya acara dengan teman-temannya.
“ Mereka itu keluarga bapak satu-satunya
Ayu. Tidak baik jika menolak membantunya. Toh iya minta tolong sama kita Cuma
sekali dalam setahun” ujar bapak menjelaskan ketika Ayu mengutarakan
keberatannya.
“Tahun ini Ayu sudah naik kelas 9 Pak,
umur Ayu sudah 16 tahun. Ayu mau belajar mengaji. Ayu malu Pak, kalau belajar
agama di sekolah dan disuruh membaca Alquran Ayu masih terbata-bata. Padahal
Ayu sendiri selalu ranking pertama di kelas.” Ujar Ayu menjelaskan.
“Ngaji kan bisa abis lebaran, jangan
cari-cari alasan Ayu. Bapak sudah berjanji sama tantemu. Jangan bikin malu
orang tua.” lanjut Bapak dengan suara yang mulai meninggi.
“Ayu mau Pak, Cuma kan ga harus nginep.
Ayu bisa berangkat setelah sahur dan pulang sebelum buka. Jadi Ayu masih bisa
ikut pesantren kilat di mesjid untuk belajar ngaji.” Tegas Ayu meyakinkan bapaknya
lagi.
“Ayu!!
Kamu memang benar-benar keras kepala. Apa kamu ga denger Bapak bilang
apa? Pokoknya kamu harus ke sana. Jangan bikin malu bapak.”
“Kenapa bukan mbak Sekar yang ke sana,
Pak. Mbak kan ga punya kegiatan apa-apa. Ayu kan sudah empat kali Ramadhan di
rumah tante, tahun ini gantian dulu. Mbak Sekar yang ke sana.”
Bapak tidak menjawab. Ia meninggalkan ruang
tamu tempat kami duduk sebelumnya. Beranjak ke kamarnya dan membanting pintu
sekeras-kerasnya. Ayu hanya menitikkan air mata. Bapak memang keras, selagi ia
punya keinginan, tidak ada orang yang bisa melawan.
Ayu masih terdiam di tempat duduknya. Ayu
sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak bermaksud membantah keinginan orang
tua. Tapi Ia juga punya rencana Ramadhan sendiri. Kalau tidak sekarang belajar
membaca Alquran, kapan lagi? Tahun ini remaja masjid di lingkungannya berencana
mengadakan pesantren Ramadhan dengan salah satu agendanya “Memberantas Buta
Alqur’an”. Belum tentu tahun depan punya kesempatan lagi. Apalagi Ayu termasuk
dalam jajaran panitia penyelenggra. Kenapa Bapak tidak mau mengerti? Kenapa
bukan mbak Sekar dulu yang menggantikan?
Ayu bukan ingin melepas tanggung jawab
yang dipercayakan oleh Bapak pada saudara perempuannya itu. Cuma Ayu berfikir,kakaknya itu sudah putus sekolah
sejak ia kelas 5 SD. Hari-harinya hanya di rumah. Setelah membantu ibu memasak
ia hanya menghabiskan waktu nonton sinetron. Berilah ia kesempatan bersosialisasi dengan dunia luar.
Supaya tidak kuper seperti yang di bilang orang-orang. Bagaimana tidak di
bilang kuper, ia hanya keluar rumah jika membeli perlengkapan make-up atau
membeli pakaian. Kalau ada acara remaja di lingkungan, kalau tidak dipanggil
berulang-ulang dia ga akan datang. Itupun hanya datang, duduk, diam. Tidak bisa
membaur dengan teman yang lain karena kudet informasi.
Ya…saudaranya itu memang pendiam. Ia
berhenti dari sekolah karena ditegur saat tidak membuat pe-er oleh gurunya.
Tersinggung dan tidak mau sekolah lagi. Bapak juga tidak pernah memotivasi ia
untuk sekolah lagi.” Biarkan saja kalau Sekar ga mau sekolah. Kalau dimarahi
malah ia setres dan ngamuk-ngamuk. Malah bikin repot. Banyak orang yang ga
sekolah hidupnya berkecukupan. ” jelas bapak ketika ada tetangga yang bertanya.
Meskipun kini mbak Sekar sudah berusia 19 tahun namun ia kurang mandiri. Akibat terlalu di manja.
Ayu juga ingin mbaknya itu merasakan
bagaimana tinggal di rumah tantenya. Selama ini kalau Ayu cerita apa yang
dikerjakan di rumah tante, bapak dan ibunya tidak pernah percaya. Bapak dan ibu
lebih percaya dengan apa yang dikatakan oleh adiknya itu.
“Tante Ratmi itu adek bapak Ayu! Bapak
mengenalnya seperti bapak mengenal kamu. Mana mungkin ia berlaku kejam sama
keponakannya sendiri. Jangan ngaco kamu. Ga mau berangkat kesana pakai
cari-cari alasan menjelek-jelekan orang.” Begitu kata bapak ketika Ayu mengadu
“Kamu kan tau sendiri. Selama kamu di sana
tentemu selalu mengirim apa yang dia masak ke rumah. Cukup untuk makan bapak, ibu, dan kakakmu. Ia selalu
bangga dengan hasil kerjamu yang bisa diandalkan. Selama puasa mana pernah
ibumu masak. Semua sudah dicukupkan oleh tantemu. Ibumu jadi fokus bantu bapak di
pasar, ga disibukkan dengan urusan makanan” Lanjutnya lagi
“Ia juga memastikan kamu cukup makan, cukup
istirahat dan makin akrab dengan sepupu-sepupumu. Mana mungkin Bapak bisa
percaya dengan apa yang kamu ucapkan.”
Jelas Bapak yang masih terngiang-ngiang di telinga Ayu
Ayu tidak bergerak dari tempat
duduknya. Masih diam dengan kesedihannya. Bapak tidak mengerti
dengan keinginannya. Tidak mau tau dengan rencana Ramadhannya. Tidak peduli
dengan keluh kesahnya.
*****
Suara motor membuyarkan lamunan Ayu. Ia
beranjak dari sisi tempat tidurnya, ingin tau siapa yang datang. Dari balik
kaca jendelanya, Ayu melihat suami tantenya yang datang dengan Honda Tiger
merahnya. Bapak membuka pintu pagar dan mempersilahkannya masuk.
“Jam segini sudah di rumah mas, tumben.
Libur apa?” tanya paman membuka pembicaraan
“Buka sebentar tadi, jam 11 pulang.
Digantiin ibunya anak-anak” jawab Bapak sambil mempersilahkan paman duduk.
Terdengar mereka
bercakap-cakap diteras depan. Membicarakan burung-burung yang peliharaan Bapak.
Ayu keluar membawa teh botol dingin untuk mereka berdua. Mendapati kehadiranku,
mereka serempak menoleh ke arahku.
“Eh Ayu, sudah siap kan? Paman ga lama nih.
Pulang kerja disuruh tante nyamperin kamu. Soalnya dirumah lagi pada repot
banyak pesanan buat sahur pertama besok.
Ga ada yang bisa diminta bantuan untuk menjemputmu” sambut paman ketika melihat
kehadiran Ayu.
“Ayu sudah siap dari tadi kok. Apa yang
perlu dibawa juga sudah rapi. Tinggal berangkat”sambut bapak menimpali
“Ayu memang rajin mas, pantesan tantenya
senang sama dia. Mandiri. Kerjaan rapi tanpa harus di suruh” sambung paman
lagi.
Ayu hanya tersenyum simpul mendengar
percakapan Bapak dan Paman. Setelah meletakkan teh botol yang dibawanya, ia
kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengambil tas dari kamarnya dan membawanya
keluar. Siap untuk ikut pamannya dan tinggal di sana selama bulan Ramadhan.
Mendapati Ayu sudah menenteng tas. Paman
segera minta diri ke bapak. Ayupun melakukan hal yang sama. Setelah pamit dan
mencium tangan bapak, Ayu mengikuti paman menuju motornya yang di parkir di
depan pintu pagar. Ayu melihat bapak tersenyum manis melepas kepergian mereka.
Motor yang ditumpangi Ayu pun melaju meninggalkan rumah. Dalam perjalanan Ayu
lebih banyak diam, hanya menjawab “iya dan tidak” apa yang ditanyakan pamannya,
“Sebulan kedepan, hari-hari yang melelahkan.” Bisik Ayu dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar