Sipnosis Novel Kisah Tragis Oie Hui Lan
(mega)
Judul : KISAH TRAGIS OIE HUI LAN
Pengarang : Agnes Davonar
Penerbit : NTI Book
JumlahHalaman : 310
Sipnosis:
Oei Hui Lan, nama putri ke dua dari Raja
Gula Oei Tiong Ham (akhirnya) menjawab teka-teki nasib kekayaan peninggalan sang Raja
Gula yang ketika wafat pada tahun 1924 konon meninggalkan warisan senilai 200 juta
gulden.
Harta tersebut tidak hanya berupa uang kontan tetapi berbagai usaha yang
bernaung di bawah OeiTiong Ham Concern. Riwayat hidup OeiTiong Ham
bisa dibaca dalam buku Raja gulaOeiTiong Ham karyaLiemTjwan Ling yang
terbit pada tahun 1979. Buku setebal 222
halaman terbitan Penerbit Liem (Surabaya) ini menceritakan keberhasilan OeiTiong Ham
membesarkan perusahaan ayahnya dengan mengembangkan usaha keperdagangan hasil bumi.
Ayahnya, OeiTjie-sien,
berasal dari daerah Tong An di Provinsi Fujian,
melarikan diri ke Hindia Belanda karena terdaftar sebagai buronan politik akibat keterlibatannya dalam Pemberontakan
Tai Ping (1850-1864). Setiba di Semarang, dengan kegigihannya bekerja,
ia berhasil dalam perdagangan dupadan gambir.
OeiTiong Ham muda tidak hanya mewarisi bakat dagang dari ayahnya,
tapi juga berani dalam mengadu nasib. Dengan modal yang
diberikan oleh seorang konsul asal Jerman sebagai uang tanda jadi pembelian tanah milik ayahnya,
ia membuka ladang tebu dan terjun keperdagangan gula.
Setelah ayahnya meninggal, ia memberikan tanah
yang “dibeli” itu dan bahkan mengembalikan keseluruhan modal yang
ia terima sebelumnya. Oei Tiong Ham sudah menjadi saudagar kaya
raya semasa ayahnya masih hidup.
Ketikaayahnyawafat,
meski sebagai anak tertua ia berhak atas warisan dari OeiTjie-sien, namun ia tidak mengambil warisan tersebut.
Ia membagikannya di antara saudara-saudaranya.
Oei Hui Lan lahir di
tengah gelimang harta hasil jerih payah ayahnya. Kita akan ternganga membaca riwayat
masa kecilnya. Bayangkan kota Semarang. Keluarga Oei hidup di atas tanah seluas 9,2
hektar dengan bangunan yang memiliki 200 ruangan, dapur,
vila pribadi dan dua paviliun besar untuk ruang pesta keluarga.
Mereka juga memiliki kebun binatang sendiri. Rumah khusus juga dibangun untuk para
pelayan. Staf rumah tangga mereka mencakup 40 pembantu rumahtangga, 50 tukangkebun,
dan dua orang koki yang berasal dariCina dan Eropa.
Sebelum cerita berlanjut, ada satu hal
yang perlu dicatat khusus dari buku ini… pemakaian istilah China.
Sebagaimana terjadi setelah era reformasi, pemerintah RRC menolak penulisan kata
“Cina” dalam bahasa Indonesia. Harus ditulis “China” (baca: cai-na).
Penolakan ini resmi disampaikan dalam rangka kebaikan hubungan bilateral kedua negara,
RI dan RRC.
Mengingat buku Oei Hui
Landi terbitkan oleh INTI, salah satu organisasi masyarakat Cina Perantau di
Indonesia, penulisan pun berusaha setia dengan keputusan itu. Meskipun di
sana-sini masih terdapat kesalahan cetak dalam penulisan. Hal yang paling
terasa aneh adalah penulisan perkampungan Cina yang
sejak jaman dulu kita kenal dengan istilah “pecinan”. Dalam buku ini, penulisannya pun
menjadi “peChinan” (baca: pe-cai-nan). Terasa janggalkan?
Kembali keriwayat Oei Hui Lan. Dari
kecil ia dimanjakan oleh sang ayah. Bahkan setelah berkeluarga pun
ia praktis mempertahankan gaya hidupnya dengan subsidi dari OeiTiong Ham.
Meski suaminya adalah seorang tokoh dalam pemerintahan Chiang K’ai-shek, namun ia tetap pejabat pemerintah.
Gajinya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kemewahan seorang putri multi-jutawan.
Kita
akanterbengong-bengong membaca betapa dengan mudahnya seorang OeiTiong Ham
membeli mobil dari Eropa (berikut supir!) ketika putrinya ingin belajar menyetir mobil.
Tidak ada permintaan yang tidak dipenuhi oleh Raja Gula Asia Tenggara
itu bila permintaan itu datang dariOei Hui Lan.
Juru masak pun
didatangkan dari mancanegara. Begitu juga para ahli untuk pengembangan usahanya.Apakah kehidupan bak putri cerita dongeng itu membahagiakan
sang putri sendiri?
Oei Hui
Lan bisa dibilang hidup dengan cara membeli semua kesenangannya. Sang ayah
juga memenuhi semua kebutuhan ibu dan kakak perempuannya Oei Tjong Lan. Baik itu di
Semarang maupun ketika mereka pindah ke London dan Paris.
Tapi kehidupan mereka terganggu oleh kecintaan sang ayah terhadap perempuan.
Selama hidupnya OeiTiong Ham memiliki 8
orang istri dengan 42 orang anak. Dan itulah alasan kenapa sang ibu akhirnya
“melarikandiri”
dari kemelut hubungannya dengan suami dengan cara menghabiskan uang seenaknya, mulai dari
Semarang hingga keEropa.
Belanja dan mempercantik diri menjadikegiatan utama kehidupannya.
Kebiasaan belanja dan mempercantik diri juga diwariskan kepada Oei
Hui Lan. Hui Lan menambah kebiasaan itu dengan berpesta. Ia menjadi ratupesta di
London, berpesta sepanjang minggu dengan kalangan kelas satu masyarakat…
kalangan bangsawan. Kebiasaan itu baru ia tinggalkan ketika ia menikah dengan Wellington
Koo, seorang pejabat departemen luar negeri Republik Cina.
Kebiasaan berpesta ditinggalkan tapi tidak kehidupan mewah.
Ironi kehidupan terjadi ketika baik Tjong Lan maupun
Hui Lan juga harus mengalami kepahitan seperti dialami oleh ibu mereka, Goei Bing Nio.
Mereka juga harus menjalani kehidupan poligami.
Kisah Oei Hui
Lan sungguh ibarat kisah khayalan anak kecil yang tidak mungkin bisa diwujudkan. Tapi itu
yang dialami dan dijalani oleh Hui Lan sampai wafatnya di usia 93 tahun.
Hidupnya berpindah dari Semarang ke London, dari London ke Shanghai dan Beijing,
dari Beijing ke Paris, dari Paris ke Washington danakhirnya menghabiskan haritua
di New York. Ayahnya wafat di Singapura. Ibu dan kakaknya wafat di Paris.
Meski mengambil judul “KisahTragis”,
saya rasa perjalanan hidup Oei Hui Lan tidak bisa dibilang tragis.
Apalagi bila dibandingkan dengan dua milyar penduduk bumil ainnya. Ia hidup dalam mimpi.
Dan pada masa tuanya ia berbaikan dengan kakaknya, hidup tenang (dan lebih sederhana)
… tapi tetap gaya orang kaya alias
sederhana bila dibandingkan dengan gaya hidup sebelumnya), dengan anak cucunya.
Satu catatan menarik dari buku ini adalah kenyataan bahwa uang dipakai untuk menaikkan derajat.
Pembaca akan bingung membaca kisahtentang rasa
bangga seorang dengan kekayaan seperti OeiTiong Ham ketika diundang ke acara
pertemuan tingkat tinggi pejabat pemerintah di Singapura. Demikian pula
kebanggan ibuOei Hui Lan ketika diundang ke pesta kalangan bangsawan di Eropa.
Sikap ini menunjukkan betapa OeiTiong Ham
dan keluarganya masih sangat patuh pada ajaran kelas masyarakat Konfusianisme.
Pejabat pemerintah dan kaum terpelajar adalah derajat tertinggi sedangkan pedagang adalah derajat terendah.
Terlepas dari kekayaan yang mereka miliki,
mereka masih melihat kalangan pejabat pemerintahans ebagai strata yang lebih tinggi.
Seperti sayasebut kan di awaltulisan ini,
informasi yang paling menarik bagis aya adalah nasib warisan sang Raja Gula sendiri.
Ketika sayamembaca buku “Raja gula OeiTiong Ham”, saya selalu bertanya-tanya,
kemana sisa-sisa kejayaan sang Raja Gula? Kemana keturunannya? Dan seterusnya.
Setelah 30 tahun,
buku ini menjawab semuanya: kekayaan OeiTiong Ham “menguap” sejalan dengan diaspora
keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar