media dan sumber belajarnya sugianti bisri

cerbung

Sugianti Bisri | Rabu, Juli 08, 2015 |
Kabutnya Ramadhan Ayu
(Bagian 3)

Mataku tak bisa terpejam lagi. Suasana rumah masih sepi, namun peperangan di ruang  sebelah, cukup mengganggu pendengaran. Cobek yang melumat bumbu, sodet yang membully musuh hingga  lemas,   mangsa yang  dimasuk ke dalam penggorengan panas. Suara-suara itu membuatku terjaga.  Kulihat jam dinding, tenyata masih pukul 2.10 dini hari. “Rupanya tante sudah mulai sibuk di dapur, nih!” pikirku.

Aku turun dari tempat tidurku, meskipun sebenarnya masih sangat ingin rebahan lagi. Semua kamar di rumah ini masih tertutup rapat. Pintu penghubung ke ruang sebelah juga begitu. Kuhampiri galon air  mineral yang ada di samping meja makan. Setiap bangun tidur aku selalu meneguk 2 gelas air putih, seperti yang dianjurkan guruku. Supaya tubuh kita segar dan kesehatan tetap terjaga. Kuintip menu yang tertutup tudung saji. Masih seperti ketika terakhir aku makan. Rupanya Ferdi dan mbak Vera tidak makan di rumah semalam.
Rupanya tante menyadari keberadaanku di ruang makan. “Dari kaca yang tidak tertutup hordeng ini rupanya” bisikku dalam hati
“Ayu, kalo da bangun bantuin tante sini!” panggil tante dari ruang sebelah
Aku langsung menuju ruang sebelah. Benar saja, seperti puasa sebelumnya, jam segini aktifitas di rumah ini sudah disibukkan dengan kegiatan memasak
“Tolong dikepali dulu perkedelnya, semalem bik iyah mungkin lupa, takut ga keburu nih anterin catering orang” pinta tante
“Siap tante” jawabku singkat sambil mengambil posisi duduk di depan baskom yang berisi kentang goreng yang sudah dilumatkan dan dicampur bumbu dan rempah-rempah.
Tante sedang asik goreng-menggoreng, sementara bik Iyah sedang menata nasi dalam rantang catering yang telah disiapkan. Rantang yang terdiri dari 4 sekat itu sudah hampir berisi nasi semua. Jumlanya sekitar 150 lebih. Ikan tongkol sambal balado sudah siap dibaskom samping bik Iyah. Potongan sayur untuk capcai belum tersentuh sama sekali. Wortel dan baksonya juga belum dipotong-potong.
“Cepetan sedikit Yu, ayam gorengnya udah hampir diangkat nih. Kalau udah ada segorengan, bawa ke sini,  biar tante goreng sekalian” ujar tante sambil mengocok telur untuk menggoreng perkedel.

Aku berangkat dari tempat dudukku, ada sekiar 15 perkedel yang sudah terbentuk rapi. Kerjaku memang cepat. Ku lihat di atas tunggu, ayam goreng yang masih hangat sudah siap untuk di sajikan, ada rendang yang sudah di letakkan di piring saji, juga sambel kentang campur hati dan ampela yang sudah siap dipindahkan ke warung. Semuanya mengundang cacing-cacing di perutku minta jatahnya. He….he….

Tak lama, ku selesaikan urusan perkedel ini. Setelah itu aku memotong-motong wortel, bakso, ayam, dan sayuran lainnya yang akan dibuat capcay. Kali ini Bik Iyah telah mengisi rantangnya dengan ikan dan perkedel yang masih hangat, rupanya ada beberapa yang diisi potongan daging rendang. “Sepertinya sesuai dengan pesanan pelanggan” pikirku dalam hati. Tante juga sudah mondar-mandir memindahkan menu yang sudah siap ke lemari kaca di warung depan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 3.00 WIB. Hampir semua masakan yang akan dijual di warung maupun untuk catering sudah siap. Tinggal capcai dan entah menu apa yang belum jadi. Aku lihat masih ada dua bumbu di piring plastik yang disiapkan tante semalam yang belum tersentuh. Setelah semuanya siap aku pindahkan semua racikan itu ke dekat tante. Empat tungku nyala semua, sepertinya sangat membatu pekerjaan tante yang sangat banyak. Hebat sekali adik bapakku ini, dalam sekejap ia berhasil menyulap bahan-bahan makanan yang semalem masih tertumpuk di mana-mana. Tidak heran jika orang kerap memuji kecekatannya mencari uang, sejak menikah dengan Mande dan usahanya kian maju rumah yang tadinya biasa-biasa saja, kini dua rumah ini menjadi rumah termegah di  komplek ini. 

*****
 Tepat jam 3. 30 WIB warung di buka. Namanya juga bulan puasa, apalagi lokasinya ramai dan di pinggir jalan. Ada saja orang yang mampir, entah itu orang sekitar perumahan atau orang yang kebetulan melintas. Kalau sudah begini, tante anteng di warung melayani pembeli. Segala yang berhubungan dengan urusan dapur sepenuhnya Bik Iyah yang menangani. Ku lihat semua rantang sudah tertutup rapat, siap diantar. Bik Iyah mengelompokkan rantang sesuai dengan catatan yang dipegangnya. Biasanya untuk mengantar semua rantang ini adalah tugas Mang Poniman, tukang ojek yang mangkal di depan warung setiap harinya. Selama Ramadhan ia di pekerjakan Tante untuk mengantar rantang-rantang itu ke tempat langganannya.

Tumpukan piring kotor menggunung lagi. Sebelum membereskannya aku menyeduh teh hangat dulu. Sepagi ini harus berkubang dengan air. Mana semua peralatan berminyak lagi. Duh…..belum lagi kalau rantang catering kembali. Itu juga menjadi tanggung jawabkku biasanya. Tak heran jika pulang dari rumah tante oleh-olehnya kakiku kutu air dan gatal-gatal karena mulai jam segini sampai jam Sembilan malam nanti biasanya aktifitasku kebanyakan di air membersihkan piring dan peralatan dapur.

Setelah semuanya beres, aku ke warung. Di sini mulai ramai. Bik Iyah juga sudah merapikan rantang di kantong yang ada di kiri kanan jok motor Mang Poniman. Jam empat semua harus sudah terantar, maunya Tante! Karena sudah bertahun-tahun membantu tante, suami mbak Sum ini sudah faham apa maunya. Jadi untuk urusan mengantar dan mengambil kembali rantang yang kosong sudah menjadi tanggung jawab  pria yang berusia sekitar empat puluh tahunan ini.

Ayu diminta membereskan meja makan, semua makanan sisa semalam di tarik ke dapur, ganti menu yang baru. Ada rendang beberapa potong, ikan tongkol balado, capcay, cumi lada hitam, dan oseng kangkung khusus untuk makan keluarga. Tak lupa aku menyiapkan teh manis dalam teko kecil. Cukup untuk sahur Mbak Vera, Ferdi, Bagas, dan Irgi yang minta dibangunin karena mau belajar puasa tahun ini. Kalau Mande mah dari dulu tidak pernah puasa. “Kiamat dunia, kalau aku sudah puasa” begitu katanya jika ditanya orang-orang.

Setelah siap semuanya, aku mengetuk pintu mereka satu persatu membangunkan penghuninya. Tak berapa lama semua juga sudah berkumpul di meja makan.
“Pulang jam berapa semalem Fer? Gimana acara pembukaannya?” tanyaku pada sepupu tiriku ini
“Hampir jam sebelas. Rame lah, semua datang kecuaali kamu” jawab Ferdi
“Hari ini kita mulai pelaksanaannya bakda azhar selama 25 hari. Ada sekitar 30 santri iqro dan sekitar 20 remaja tahfiz. Acara di tutup dengan kultum oleh pengurus masjid secara terjadwal. Ada beberapa undangan yang siap membantu” jelas Ferdi lagi
Ayu hanya menyimak apa yang diutarakan Ferdi. Mukanya terlihat sedih, harusnya ia bagian dari acaranya yang di sebut-sebut itu. Kenyataannya ia harus terima nasib lagi, membantu tantenya sampai akhir ramadhan nanti.
“Sahur sekalian Yu, bareng-bareng aja sini!” ajak Mbak Vera
“Iya Mbak” jawabku singkat
“Mama dan Bik Iyah biasanya ga puasa, mereka seharian di dapur. Bergelut dengan makanan. Mana kuat kalau mau puasa” jelas Mbak Vera
“Iya, Mama paling Cuma nemenin kita makan, tapi ga pernah puasa” sambung Irgi
“Mama capek de, banyak kerjaannya” ujar Mbak Vera menjelaskan lagi
“Mama sibuk, banyak pembeli di warung, makan sendiri ya? Kata Mbak Vera pada Irgi
“Irgi mau telor dadar pake bawang goreng, ga mau yang makanan ini kak” sambung Irgi lagi
“Ini aja sayang, ada rendang, ikan dicabein tuh, ada cumi juga kesukaan adek, makan yang ini aja ya?” bujuk mbak Vera lagi
“Irgi mau telor mbak, kasih bawang goreng yang gosong” ambek Irgi
“Udah si dek, kita makan yang ini aja. Enak-enak kok, tuh kak Bagas ga ada suaranya. Lahap bener makannya” tambah Ferdi berusaha membujuk Irgi
“Ga mau kak, telor dadar aja, yang anget. Bawangnya yang banyak” tambah Irgi tetap dengan kemauannya.
Melihat Irgi yang tidak mau makan dengan menu yang ada di meja, sedangkan kakak-kakaknya tidak ada yang mau membuatkan telor dadar. Membuat Ayu berdiri dari meja makan. Meninggalkan piring nasi yang baru beberapa ia suap.
“Iya sudah, Mbak Ayu bikini ya, maunya seperti apa?” tanya Ayu pada Irgi
“Telor dadar mbak, kasih bawang goreng yang banyak, terus dimasak yang gosong.” Ujar Irgi dengan semangat
“Oke, Mbak Ayu buatin. Tunggu sebentar ya!” ujar Ayu sambil melangkah ke dapur
“Telornya dua ya Mbak…….Mbak Ayu baik banget deh sama Irgi” teriak Irgi

Selang beberapa menit, telor dadar  pun sudah siap. Irgi Mulai makan dengan lahapnya. Kakak-kakaknya yang lain sudah selesai sahur. Mereka sudah bergeser ke depan TV, tinggal Ayu yang menghabiskan  makanan yang ia tinggalkan tadi, bersama Irgi yang sahur hanya dengan telor dadar buatannya.

Ayu sesekali mengamati anak yang berusia delapan tahun ini. Badannya gemuk berisi, sekilas ia mirip sekali dengan Tantenya. Kulitnya putih, bulu matanya lentik, bibirnya mungil, dan rambutnya yang sedikit ikal dan lebat. Ayu mengelus-elus kepala keponakannya itu. Dengan sabar ia mengunggu Irgi menyelesaikan sahurnya. Setelah sendok terakhir mendarat di mulut anak itu, Ayu menuangkan air putih. Kini Si Gembul pun selesai sahur.

Ayu membereskan meja makan. Piring-piring yang sudah terpakai ia bawa ke dapur. Merapikan kembali makanan yang tersisa. Dan membiarkannya tetap di meja untuk sarapan Mande. Ditutupnya menu yang ada di atas meja tersebut dengan tudung saji agar tidak dihinggapi lalat.

Ternyata jam dinding sudah menunjukkan pukul 4.20 WIB. Masih ada sisa waktu sekitar 10 menit lagi menjelang Imsak. Ayu melihat warung semakin ramai. Ada pembeli yang makan di tempat ada juga yang minta di bungkus untuk di bawa pulang. Mang Poniman juga sudah menyelesaikan tugasnya. Ia sedang menikmati santap sahurnya di bale-bale depan warung, di bawah pohon jambu. Sepiring nasi yang terisi penuh lengkap dengan lauk pauk dan segelas teh ada di hadapanya. Kebiasaannya memang seperti itu, usai mengantarkan rantang, ia sahur di sini, setelah sholat subuh baru ia keliling lagi mengumpulkan ratang-rantang yang telah kosong. Sambil menikmati teh hangatnya, Ayu membantu tante membereskan piring di meja yang sudah ditinggalkan oleh pembeli. Sesekali ia juga membantu melayani dengan membungkus lauk atau sayur yang dipesan orang.
*****

Matahari mulai menampakkan sinarnya, Ayu baru selesai mencuci piring bekas sahur dan rantang-rantang katering. Bik Iyah sudah mulai mengumpas dan meracik beberapa bumbu untuk masak berbagai menu. Selain nasi dan lauk pauk, sore hari Tante juga menyediakan berbagai takjil berbuka puasa. Ada pempek, model ikan, kolak pisang, es buah, dan berbagai macam goregan seperti bakwan, risoles, tahu isi, pastel, dan tempe mendoan. Setiap menjelang berbuka, suasana warung lebih ramai lagi, mirip seperti pasar tumpah di depan rumah. Meskipun Tante bukan pedagang takjil dan makanan satu-satunya di daerah sini, tetap warungnya yang paling ramai pembeli. Mereka bilang selain rasanya yang enak,tempatnya bersih,  harganya juga murah.

Di rumah sebelah, Mbak Sum terlihat sedang membereskan ruangan. Mbak Vera, Ferdi, Bagas, dan Irgi yang usai sahur tadi tertidur di depan TV, sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Suara mesin cuci terdengar sedang mengeringkan cucian. Setelah acara beres-beresnya selesai, Mbak Sum baru pindah ke sebelah untuk membantu urusan dapur.

Di sudut ruangan dekat pintu ke warung, ada karung pelastik putih yang tergeletak sejak semalam. Aku menghampiri karung tersebut dengan pisau dan beberapa baskom yang telah terisi air. Iya….mulai lagi aktifitas hari ini. Ngupas kentang, wortel, singkong, ubi. Pisang untuk kolak dikupas menyusul agar tidak berubah warna.

Begini ini kegiatan Ayu selama Ramadhan di rumah Tantennya. Dari melek mata hingga menjelang tidur lagi aktifitasnya selalu di dapur dan tempat cucian piring. Kerjannya kupas-mengupa. Membentuk adonan pempek sesuai dengan isinya, dan membuat dadaran kulit risol. Ini diselesaikan hingga menjelang dzuhur. Usai sholat ia membantu tantenya lagi di warung melayani pembeli, berbukapun Ayu sempat-sempatkan sambil melayani pembeli yang semakin ramai pada jam-jam segitu, karena sendirian tidak tertangani oleh Tantenya. Memang bukan pekerjaannya yang berat, tapi kesibukan Ayu di sini tidak memberikannya waktu untuk sekedar beristirahat. Setiap hari ia harus bangun jam dua pagi dan baru bisa tidur lagi paling cepat jam sembilan malam. Waktu istirahat yang hanya empat sampai lima jam kadang membuat Ayu merasa lemas, badan berasa panas dingin, namun ia harus kuat. Apapun itu tetap dijalaninya dengan penuh semangat. Ramadhan yang seharusnya bulan mulia yang ditunggu-tunggu setiap umat muslim, namun menjadi kabut bagi Ayu. Kabut yang selalu berulang sejak lima tahun yang silam. Kabut belum akan berlalu selama Ayu masih mampu dan tidak ada alasan untuk tidak mau melaluinya.
TAMAT












Tidak ada komentar:

Posting Komentar