Kabutnya
Ramadhan Ayu
(Bagian
3)
Mataku tak bisa terpejam lagi. Suasana
rumah masih sepi, namun peperangan di ruang
sebelah, cukup mengganggu pendengaran. Cobek yang melumat bumbu, sodet
yang membully musuh hingga lemas, mangsa yang
dimasuk ke dalam penggorengan panas.
Suara-suara itu membuatku terjaga. Kulihat jam dinding, tenyata masih pukul 2.10
dini hari. “Rupanya tante sudah mulai sibuk di dapur, nih!” pikirku.
Aku turun dari
tempat tidurku, meskipun sebenarnya masih sangat ingin rebahan lagi. Semua
kamar di rumah ini masih tertutup rapat. Pintu penghubung ke ruang sebelah juga
begitu. Kuhampiri galon air mineral yang
ada di samping meja makan. Setiap bangun tidur aku selalu meneguk 2 gelas air
putih, seperti yang dianjurkan guruku. Supaya tubuh kita segar dan kesehatan
tetap terjaga. Kuintip menu yang tertutup tudung saji. Masih seperti ketika
terakhir aku makan. Rupanya Ferdi dan mbak Vera tidak makan di rumah semalam.
Rupanya tante menyadari keberadaanku di
ruang makan. “Dari kaca yang tidak tertutup hordeng ini rupanya” bisikku dalam
hati
“Ayu, kalo da bangun bantuin tante sini!”
panggil tante dari ruang sebelah
Aku langsung menuju ruang sebelah. Benar
saja, seperti puasa sebelumnya, jam segini aktifitas di rumah ini sudah
disibukkan dengan kegiatan memasak
“Tolong dikepali dulu perkedelnya, semalem
bik iyah mungkin lupa, takut ga keburu nih anterin catering orang” pinta tante
“Siap tante” jawabku singkat sambil
mengambil posisi duduk di depan baskom yang berisi kentang goreng yang sudah
dilumatkan dan dicampur bumbu dan rempah-rempah.
Tante sedang asik goreng-menggoreng,
sementara bik Iyah sedang menata nasi dalam rantang catering yang telah
disiapkan. Rantang yang terdiri dari 4 sekat itu sudah hampir berisi nasi
semua. Jumlanya sekitar 150 lebih. Ikan tongkol sambal balado sudah siap
dibaskom samping bik Iyah. Potongan sayur untuk capcai belum tersentuh sama
sekali. Wortel dan baksonya juga belum dipotong-potong.
“Cepetan sedikit Yu, ayam gorengnya udah
hampir diangkat nih. Kalau udah ada segorengan, bawa ke sini, biar tante goreng sekalian” ujar tante sambil
mengocok telur untuk menggoreng perkedel.
Aku berangkat dari tempat dudukku, ada
sekiar 15 perkedel yang sudah terbentuk rapi. Kerjaku memang cepat. Ku lihat di
atas tunggu, ayam goreng yang masih hangat sudah siap untuk di sajikan, ada
rendang yang sudah di letakkan di piring saji, juga sambel kentang campur hati
dan ampela yang sudah siap dipindahkan ke warung. Semuanya mengundang
cacing-cacing di perutku minta jatahnya. He….he….
Tak lama, ku selesaikan urusan perkedel
ini. Setelah itu aku memotong-motong wortel, bakso, ayam, dan sayuran lainnya
yang akan dibuat capcay. Kali ini Bik Iyah telah mengisi rantangnya dengan ikan
dan perkedel yang masih hangat, rupanya ada beberapa yang diisi potongan daging
rendang. “Sepertinya sesuai dengan pesanan pelanggan” pikirku dalam hati. Tante
juga sudah mondar-mandir memindahkan menu yang sudah siap ke lemari kaca di
warung depan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 3.00 WIB. Hampir semua
masakan yang akan dijual di warung maupun untuk catering sudah siap. Tinggal
capcai dan entah menu apa yang belum jadi. Aku lihat masih ada dua bumbu di
piring plastik yang disiapkan tante semalam yang belum tersentuh. Setelah
semuanya siap aku pindahkan semua racikan itu ke dekat tante. Empat tungku
nyala semua, sepertinya sangat membatu pekerjaan tante yang sangat banyak.
Hebat sekali adik bapakku ini, dalam sekejap ia berhasil menyulap bahan-bahan
makanan yang semalem masih tertumpuk di mana-mana. Tidak heran jika orang kerap
memuji kecekatannya mencari uang, sejak menikah dengan Mande dan usahanya kian
maju rumah yang tadinya biasa-biasa saja, kini dua rumah ini menjadi rumah
termegah di komplek ini.
*****
Tepat jam 3. 30 WIB warung di buka. Namanya
juga bulan puasa, apalagi lokasinya ramai dan di pinggir jalan. Ada saja orang
yang mampir, entah itu orang sekitar perumahan atau orang yang kebetulan
melintas. Kalau sudah begini, tante anteng di warung melayani pembeli. Segala
yang berhubungan dengan urusan dapur sepenuhnya Bik Iyah yang menangani. Ku
lihat semua rantang sudah tertutup rapat, siap diantar. Bik Iyah mengelompokkan
rantang sesuai dengan catatan yang dipegangnya. Biasanya untuk mengantar semua
rantang ini adalah tugas Mang Poniman, tukang ojek yang mangkal di depan warung
setiap harinya. Selama Ramadhan ia di pekerjakan Tante untuk mengantar
rantang-rantang itu ke tempat langganannya.
Tumpukan piring kotor menggunung lagi. Sebelum
membereskannya aku menyeduh teh hangat dulu. Sepagi ini harus berkubang dengan
air. Mana semua peralatan berminyak lagi. Duh…..belum lagi kalau rantang
catering kembali. Itu juga menjadi tanggung jawabkku biasanya. Tak heran jika
pulang dari rumah tante oleh-olehnya kakiku kutu air dan gatal-gatal karena
mulai jam segini sampai jam Sembilan malam nanti biasanya aktifitasku
kebanyakan di air membersihkan piring dan peralatan dapur.
Setelah semuanya beres, aku ke warung. Di
sini mulai ramai. Bik Iyah juga sudah merapikan rantang di kantong yang ada di
kiri kanan jok motor Mang Poniman. Jam empat semua harus sudah terantar, maunya
Tante! Karena sudah bertahun-tahun membantu tante, suami mbak Sum ini sudah
faham apa maunya. Jadi untuk urusan mengantar dan mengambil kembali rantang
yang kosong sudah menjadi tanggung jawab
pria yang berusia sekitar empat puluh tahunan ini.
Ayu diminta membereskan meja makan, semua
makanan sisa semalam di tarik ke dapur, ganti menu yang baru. Ada rendang
beberapa potong, ikan tongkol balado, capcay, cumi lada hitam, dan oseng
kangkung khusus untuk makan keluarga. Tak lupa aku menyiapkan teh manis dalam
teko kecil. Cukup untuk sahur Mbak Vera, Ferdi, Bagas, dan Irgi yang minta
dibangunin karena mau belajar puasa tahun ini. Kalau Mande mah dari dulu tidak
pernah puasa. “Kiamat dunia, kalau aku sudah puasa” begitu katanya jika ditanya
orang-orang.
Setelah siap semuanya, aku mengetuk pintu
mereka satu persatu membangunkan penghuninya. Tak berapa lama semua juga sudah
berkumpul di meja makan.
“Pulang jam berapa semalem Fer? Gimana
acara pembukaannya?” tanyaku pada sepupu tiriku ini
“Hampir jam sebelas. Rame lah, semua datang
kecuaali kamu” jawab Ferdi
“Hari ini kita mulai pelaksanaannya bakda
azhar selama 25 hari. Ada sekitar 30 santri iqro dan sekitar 20 remaja tahfiz. Acara
di tutup dengan kultum oleh pengurus masjid secara terjadwal. Ada beberapa
undangan yang siap membantu” jelas Ferdi lagi
Ayu hanya menyimak apa yang diutarakan
Ferdi. Mukanya terlihat sedih, harusnya ia bagian dari acaranya yang di
sebut-sebut itu. Kenyataannya ia harus terima nasib lagi, membantu tantenya sampai
akhir ramadhan nanti.
“Sahur sekalian Yu, bareng-bareng aja
sini!” ajak Mbak Vera
“Iya Mbak” jawabku singkat
“Mama dan Bik Iyah biasanya ga puasa,
mereka seharian di dapur. Bergelut dengan makanan. Mana kuat kalau mau puasa”
jelas Mbak Vera
“Iya, Mama paling Cuma nemenin kita makan,
tapi ga pernah puasa” sambung Irgi
“Mama capek de, banyak kerjaannya” ujar
Mbak Vera menjelaskan lagi
“Mama sibuk, banyak pembeli di warung,
makan sendiri ya? Kata Mbak Vera pada Irgi
“Irgi mau telor dadar pake bawang goreng,
ga mau yang makanan ini kak” sambung Irgi lagi
“Ini aja sayang, ada rendang, ikan
dicabein tuh, ada cumi juga kesukaan adek, makan yang ini aja ya?” bujuk mbak
Vera lagi
“Irgi mau telor mbak, kasih bawang goreng
yang gosong” ambek Irgi
“Udah si dek, kita makan yang ini aja.
Enak-enak kok, tuh kak Bagas ga ada suaranya. Lahap bener makannya” tambah
Ferdi berusaha membujuk Irgi
“Ga mau kak, telor dadar aja, yang anget.
Bawangnya yang banyak” tambah Irgi tetap dengan kemauannya.
Melihat Irgi yang tidak mau makan dengan
menu yang ada di meja, sedangkan kakak-kakaknya tidak ada yang mau membuatkan
telor dadar. Membuat Ayu berdiri dari meja makan. Meninggalkan piring nasi yang
baru beberapa ia suap.
“Iya sudah, Mbak Ayu bikini ya, maunya
seperti apa?” tanya Ayu pada Irgi
“Telor dadar mbak, kasih bawang goreng
yang banyak, terus dimasak yang gosong.” Ujar Irgi dengan semangat
“Oke, Mbak Ayu buatin. Tunggu sebentar
ya!” ujar Ayu sambil melangkah ke dapur
“Telornya dua ya Mbak…….Mbak Ayu baik
banget deh sama Irgi” teriak Irgi
Selang beberapa menit, telor dadar pun sudah siap. Irgi Mulai makan dengan
lahapnya. Kakak-kakaknya yang lain sudah selesai sahur. Mereka sudah bergeser
ke depan TV, tinggal Ayu yang menghabiskan
makanan yang ia tinggalkan tadi, bersama Irgi yang sahur hanya dengan
telor dadar buatannya.
Ayu sesekali mengamati anak yang berusia
delapan tahun ini. Badannya gemuk berisi, sekilas ia mirip sekali dengan
Tantenya. Kulitnya putih, bulu matanya lentik, bibirnya mungil, dan rambutnya
yang sedikit ikal dan lebat. Ayu mengelus-elus kepala keponakannya itu. Dengan
sabar ia mengunggu Irgi menyelesaikan sahurnya. Setelah sendok terakhir
mendarat di mulut anak itu, Ayu menuangkan air putih. Kini Si Gembul pun
selesai sahur.
Ayu membereskan meja makan. Piring-piring
yang sudah terpakai ia bawa ke dapur. Merapikan kembali makanan yang tersisa.
Dan membiarkannya tetap di meja untuk sarapan Mande. Ditutupnya menu yang ada
di atas meja tersebut dengan tudung saji agar tidak dihinggapi lalat.
Ternyata jam dinding sudah menunjukkan
pukul 4.20 WIB. Masih ada sisa waktu sekitar 10 menit lagi menjelang Imsak. Ayu
melihat warung semakin ramai. Ada pembeli yang makan di tempat ada juga yang
minta di bungkus untuk di bawa pulang. Mang Poniman juga sudah menyelesaikan
tugasnya. Ia sedang menikmati santap sahurnya di bale-bale depan warung, di
bawah pohon jambu. Sepiring nasi yang terisi penuh lengkap dengan lauk pauk dan
segelas teh ada di hadapanya. Kebiasaannya memang seperti itu, usai
mengantarkan rantang, ia sahur di sini, setelah sholat subuh baru ia keliling
lagi mengumpulkan ratang-rantang yang telah kosong. Sambil menikmati teh
hangatnya, Ayu membantu tante membereskan piring di meja yang sudah ditinggalkan
oleh pembeli. Sesekali ia juga membantu melayani dengan membungkus lauk atau
sayur yang dipesan orang.
*****
Matahari mulai menampakkan sinarnya, Ayu
baru selesai mencuci piring bekas sahur dan rantang-rantang katering. Bik Iyah
sudah mulai mengumpas dan meracik beberapa bumbu untuk masak berbagai menu.
Selain nasi dan lauk pauk, sore hari Tante juga menyediakan berbagai takjil berbuka
puasa. Ada pempek, model ikan, kolak pisang, es buah, dan berbagai macam
goregan seperti bakwan, risoles, tahu isi, pastel, dan tempe mendoan. Setiap menjelang
berbuka, suasana warung lebih ramai lagi, mirip seperti pasar tumpah di depan
rumah. Meskipun Tante bukan pedagang takjil dan makanan satu-satunya di daerah
sini, tetap warungnya yang paling ramai pembeli. Mereka bilang selain rasanya
yang enak,tempatnya bersih, harganya
juga murah.
Di rumah sebelah, Mbak Sum terlihat sedang
membereskan ruangan. Mbak Vera, Ferdi, Bagas, dan Irgi yang usai sahur tadi
tertidur di depan TV, sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Suara mesin cuci
terdengar sedang mengeringkan cucian. Setelah acara beres-beresnya selesai,
Mbak Sum baru pindah ke sebelah untuk membantu urusan dapur.
Di sudut ruangan dekat pintu ke warung,
ada karung pelastik putih yang tergeletak sejak semalam. Aku menghampiri karung
tersebut dengan pisau dan beberapa baskom yang telah terisi air. Iya….mulai
lagi aktifitas hari ini. Ngupas kentang, wortel, singkong, ubi. Pisang untuk
kolak dikupas menyusul agar tidak berubah warna.
Begini ini kegiatan Ayu selama Ramadhan di
rumah Tantennya. Dari melek mata hingga menjelang tidur lagi aktifitasnya
selalu di dapur dan tempat cucian piring. Kerjannya kupas-mengupa. Membentuk
adonan pempek sesuai dengan isinya, dan membuat dadaran kulit risol. Ini
diselesaikan hingga menjelang dzuhur. Usai sholat ia membantu tantenya lagi di
warung melayani pembeli, berbukapun Ayu sempat-sempatkan sambil melayani
pembeli yang semakin ramai pada jam-jam segitu, karena sendirian tidak
tertangani oleh Tantenya. Memang bukan pekerjaannya yang berat, tapi kesibukan
Ayu di sini tidak memberikannya waktu untuk sekedar beristirahat. Setiap hari
ia harus bangun jam dua pagi dan baru bisa tidur lagi paling cepat jam sembilan
malam. Waktu istirahat yang hanya empat sampai lima jam kadang membuat Ayu
merasa lemas, badan berasa panas dingin, namun ia harus kuat. Apapun itu tetap
dijalaninya dengan penuh semangat. Ramadhan yang seharusnya bulan mulia yang
ditunggu-tunggu setiap umat muslim, namun menjadi kabut bagi Ayu. Kabut yang
selalu berulang sejak lima tahun yang silam. Kabut belum akan berlalu selama
Ayu masih mampu dan tidak ada alasan untuk tidak mau melaluinya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar