media dan sumber belajarnya sugianti bisri

Cerpen 5

Sugianti Bisri | Sabtu, Mei 02, 2015 |
Ada Guru di Barisan Buruh

Kuparkirkan Honda Beatku di parkiran IRTI Monas. Hari ini aku bersama teman-teman seperjuanganku dari beberapa wilayah berencana merapatkan barisan ke depan Istana Negara. Menyampaikan aspirasi kami sebagai guru honor di sekolah negeri. Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 9.10 WIB  Suasana disekitar sudah mulai di padati buruh. Ya….Mayday,demikian orang menyebutnya.
Kuayunkan langkahku menuju Istiqlal. Tempat dimana kami akan mengawali perjuangan hari ini. Disana telah menanti puluhan teman-temanku dari DKI. Dibarisan yang lain juga telah siap teman-teman dari Bekasi,Jambi,Cirebon, dan wilayah-wilayah lain.Jumlah yang hadir tidak sesuai perkiraan. Di DKI Jakarta tercatat 13.000 guru honor yang kami miliki. Namun yang hadir disini tidak lebih dari 200 orang. Kenapa mereka hanya bisa mengeluh di Facebook jika mereka di bayar tidak manusiawi? Kenapa mereka hanya berteriak kala tidak bisa diikutkan sertifikasi padahal sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah negeri? Apakah mereka malu,dengan baju safari yang dikenakannya setiap hari jika harus merapatkan barisan di sini? Padahal mereka sangat mengininkan perubahan hidup. Ingin keberadaannya diakui. Berbagai pertannyaan memenuhi kepalaku.
Setelah koordinator masing-masing wilayah berdiskusi. Akhirnya kami menyatukan barisan. Jumlahnya tidak lebih dari 800 orang. Korlap Bekasi yang membawa picup memimpin barisan paling depan. Setelah koordinator DKI memimpin doa kami siap turun ke jalan,menelusuri jalan Juanda menuju Istana. Aku sudah mempersiapkan diri dengan memakai sepatu yang nyaman dan penutup kepala. Pelindung dari sengatan matahari yang mulai membakar ibu kota.
Sepanjang jalan mobil-mobil yang melintas bersikap sangat sopan. Mereka menghentikan kendaraan,memberi kami jalan. “ Kok guru ikutan demo ya,ini kan hari buruh” terdengar suara pengemudi yang membuka kaca jendelanya dan memberi kami semangat dan melemparkan senyuman. “Ayo bapak-bapak….Ibu-ibu selamat berjuang” ujar penumpang yang lain. Beberapa diantaranya ada yang jeprat-jepret menggunakan HP nya. Entah untuk kepentingan apa. Tak berapa lama rombongan kami pun  sudah  membaur dengan lautan buruh di silang Monas.
Sebelum melanjutkan perjalanan. Rombongan berhenti sesaat. Korlap merapikan kembali barisan kami dan memberikan wejangan. “Ingat ya teman-teman. Kita disini guru. Jangan terbakar emosi dalam berorasi. Tetap menjaga kesantunan kita. Rombongan akan diposisikan berada di barisan paling depan. Jumlah kita yang sedikit biar terlihat oleh bapak Presiden yang menurut info sedang menuju istana. Tetap jaga jarak” jelasnya panjang lebar.
Ini pertamakalinya aku turun ke jalan setelah belasan tahun mengajar.  Ribuan manusia memenuhi jalan ini. Situasi istana juga sudah dijaga ratusan petugas keamanan. Setelah sampai di pintu monas kami menghentikan langkah kami. Aku mengambil posisi barisan di pinggir kanan. Di depan kami juga siap pagar dari petugas keamanan. Ada rasa haru di sini. Antara semangat yang berkobar,was-was dengan lautan manusia yang mulai tidak terkendali dari arah yang berlawanan. Korlap bergantian membacakan orasinya. Lantunan lagu Umar Bakri tak henti-hentinya terdengar dari picup yang dikendarai korlap Bekasi.
Matahari sudah meninggi. Perwakilan kami sudah ada yang dipanggil pihak istana bersama korlap buruh yang lainnya. Aku dan para demonstran lainnya tetap menunggu di barisan. Bajuku mulai basah oleh peluh. Sesekali terdengar petugas keamanan yang berteriak dari arah yang berlawanan menertibkan barisan buruh yang mulai memanas. “Ibu…?” terdengar suara dari sebelahku.
Aku memalingkan muka kearah suara itu. “Tak ada yang sedang menyapa” pikirku dalam hati. Hanya barisan polisi yang siaga di tempat ini.
“Ibu Luzy” suara itu terdengar lebih jelas lagi
Aku memalingkan kearah datangnya suara tadi. Suara yang berasal dari barisan polisi yang berbaris rapi di sisiku. Kuamati wajah mereka satu persatu. Tatapanku terhenti pada wajah yang begitu akrab denganku. Wajah yang selalu menyapaku setiap hari, enam tahun yang lalu.

M.Arsya Ramadhan. Nama yang terbaca dari nametag seragam dinas yang dikenakan laki-laki berusia dua puluhan tahun itu. Wajahnya lebih bersih dari yang aku kenal dulu. Lebih segar dan sehat. “Iya. Itu Arsya. Waktu dia kelas delapan aku wali kelasnya” ingatku seketika. Anak yang ditinggal ibunya sedari umur lima tahu. Ia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Setiap pagi anak itu sering pingsan. Ternyata ia sering menahan lapar. Ayahnya jarang pulang ke rumah, kadang seharian ia tidak bertemu nasi.Anak yang tidak diurus ayahnya yang suka mabok-mabokan dan judi.

Sejenak kami saling pandang. Tatapannya penuh dengan berjuta pertanyaan. Matanya terlihat begitu haru melihatku. Aku tak bisa melihat tatapan itu berlama-lama. Berbagai perasaan berkecamuk di hatiku. Akhirnya aku hanya bisa memaksakan tersenyum pada anak itu,sebelum tertunduk menahan haru.
***
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul setengan tiga. Korlap yang sedang bernegosiasi di istani memberi pesan agar kami membubarkan barisan. Aku dan rombongan guru lainnya sudah menepi. Membubarkan diri dengan rapi.
Aku menuju parkiran dimana aku menitipkan motorku. Namun aku merasa ada langkah yang mengikutiku. Aku memperlambat ayunan langkahku. Ternyata benar, Arsya telah berjalan disampingku.

“Saya sedih dipertemukan dalam situasi begini. Airmata ini menetes. Mendapati orang yang paling berjasa dalam perubahan hidupku turun ke jalan” ujar anak itu memulai pembicaraan. Aku menghentikan langkahku. Menatap anak itu dengan tajam. “Belum tentu yang baik itu sesempurna yang kau lihat. Hampir dua puluh tahun ibu mengajar. Mengabdikan diri sebagai pendidik dengan upah yang jauh dari kata manusiawi, Ini kesempatan ibu untuk ikut barisan. Sedikit harapan yang tersisa,jika kesempatan untuk menjadi pegawai negeri terlewati paling tidak dihargai dengan cara bisa disertifikasi” jelasku panjang lebar

Saya tidak mengira kalau selama ini ibu masih honor. Bagi saya ibu ada motivator dalam hidup saya. Saya ingat betul kala itu,  setiap pagi ibu selalu member saya uang untuk membeli sarapan. Menasehati saya agar mampu menjadi jiwa yang mandiri. Tidak bergantung pada ayah. Atas saran ibu juga sepulang sekolah,ketika teman-teman sudah sepi meninggalkan sekolah satu persatu, aku memunguti botol minuman dan mengumpulkannya di halaman belakang. Dari uang penjualan rongsokan yang aku kumpulkan aku bisa membiayai sekolahku. Hingga aku bisa seperti ini. Orang yang menjadi inspirasi dalam hidup saya. Agen perubahan,yang mampu mengubah Arsya yang mudah putus asa menjadi anak yang tegar dan mampu berjuang untuk diri sendiri.

“Itulah guru nak, dalam kondisi apapun dia harus mampu member energy positif pada anak didiknya. Ibu merasa bangga bisa bertemu kamu dalam kondisi kamu yang sudah mampu menjadi pribadi yang sekarang ini. Apalagi mendapati kamu masih mengingat ibu,itu merupakan penghargaan tersendiri” ucapku berusaha bijak

“Ibu yakin,diluar sana masih banyak Luzy Luzy yang lain. Bisa mencetak generasi penerus yang sukses sementara nasibnya sendiri jalan ditempat. Pilihan menjadi guru bisa saja tidak pernah mereka sesali. Namun dikotomi guru yang mereka tangisi. Semua mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa,tapi kenapa hak yang mereka terima terlihat terlalu didiskriminasi” Lanjutku lagi

Sudahlah nak,setiap manusia punya jalan hidupnya sendiri. Kita hanya bisa berusaha yang terbaik untuk hidup ini selagi mampu. Jika itu tidak membuahkan hasil seperti yang kita inginkan. Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih indah. Kutepuk bahu anak itu. Dia pun membalas dengan menjabat tanganku dengan erat.
“Terima kasih atas semua yang sudah ibu berikan padaku. Aku bangga bisa dipertemukan dengan guru seperti ibu” ucapnya dengan suara sedikit gemetar
Kutepuk-tepuk kembali bahunya. Kulepas jabatan tangannya. “Sudahlah tak perlu larut. Ibu pamit dulu. Hari makin sore. Sebelum rombongan buruh membubarkan diri,ibu harus pulang. Kalau tidak bisa terjebak di jalanan” ucapku berusaha mencairkan suasana.
Aku meneruskan langkahku. Arsya masih diam menatapku ditempatnya berdiri. Setelah mendapati motorku yang terparkir dari pagi,aku memakai perlengkapan pengendaraku. Menstarter kendaraanku. Kulampaikan tangan pada Arsya yang masih setia menungguku berlalu sebelum meninggalkan parkiran ini.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar