media dan sumber belajarnya sugianti bisri

Ketika pemimpin berteriak "Saya adalah pimpinan di Sini"

Sugianti Bisri | Rabu, April 15, 2015 |
Dalam sebuah keluarga,orang tua yang merupakan pemimpin tertinggi tak akan bersuara keras pada anak-anaknya,apalagi sampai menghardik dan penuh ancaman apabila mereka faham akan tugasnya sebagai pelindung,penganyom,pendamping,sekaligus menjadi sahabat bagi anak-anak mereka telah menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.

Orang tua yang bijaksana,sebelum melarang anaknya untuk tidak berbuat ini,jangan begitu,harus menyadari terlebih dahulu, "apakah larangan atau perintah itu sudah ia terapkan pada dirinya?"
Contoh sederhananya begini, anak gadis harus berpakaian yang sopan,tutup aurat jika hendak keluar rumah,jangan bergaul dengan orang yang sudah mempunyai pasangan.

Lantas sebagai ayah,terutama ibunya yang paling berperan dalam urusan akhlak anaknya ( karena frekuensi hubungannya dengan anak lebih tinggi dibanding ayaknya) sudah memberikan contoh untuk larangan/perintah tersebut. Jika menganjurkan anaknya untuk berpakaian yang sopan,menutup aurat. Apakah si ibu sudah bisa berpakaian dengan tidak memperlihatkan bentuk dadanya yang masih penuh,menjahit belahan roknya untuk menutupi betisnya yang putih dan bersih. Jika kita masih berat untuk melakukan itu jangan menuntut anak akan melakukan apa yang kita inginkan, walau ia mematuhi perintah itu,mungkin sebagai bentuk rasa hormat atau rasa takut pada ancaman  kita yang akan mengurangi uang jajan, diluar pantauan, anak akan memperlihatkan karakter aslinya. Masih untung mereka hanya menceritakan apa yang dia alami kepada teman/media sosial sebagai bentuk ketidakberterimaannya. Bagaimana jika ia menggunakan kemampuan dan kekuatannya untuk berbuat sesuatu yang bisa mencoreng nama keluarga?

Melarang anak menjaga etika dalam pergaulan,jangan merusak hubungan orang,jangan terlalu ikut campur urusan pribadi/rumah tangga orang. Bergaulah  dengan orang-orang yang benar. Sementara kita masih berat untuk meninggalkan rutinitas kita berzikir degan BBM,FB,WA,atau media sosial lainnya. Entah itu bercengkrama dengan saudara,teman,atau pasangan resmi orang yang masih terikat pernikahan. Dan itu dengan bangganya kita ceritakan pada anak-anak kita sebagai bentuk kekeluargaan,atas nama persahabatan,atau apalah sebutannya. Tapi kok kenapa kita melarang anak berselancar di dunia maya,mengurangi jamnya bermain game online,berteriak keras ketika mendapati anak tersenyum-senyum sendiri dengan smartphonenya. Dalam hal ini saya hanya bilang kasian pada anak yang punya orang tua seperti ini.

Sebagai orang tua,saat ini kita memang menjadi penguasa atas diri anak-anak kita. Semua aturan bisa kita paksakan dengan teriakan dan ancaman,karena sebagai orang tua kita pasti tau,anak akan melaksanakan apa yang  kita mau,urusan anak senang atau tidak? Itukan sudah takdirnya mereka harus mematuhi aturan orang tua,mengikuti apa yang diinginkan orang tua. Kalau tidak mau disebut anak yang pembangkang. Dengan menjadi anak yang mantuk-mantuk atas kemauan orang tua,uang jajan lancar,apa yang anak inginkan juga akan dipenuhi orang tua (sebagian anak ada yang berfikir seperti itu untuk melancarka urusannya).

Apakah orang tua tidak menyadari atau memang tidak mau dipusingkan. Status kita sebagai orang tuanya,sebagai penguasa atas diri mereka lambat laun akan ditinggalkan. Anak yang didik dengan kekerasan,ancaman,makian,akan tumbuh menjadi pribadi pemberontak,pendendam. Begitu tersulut emosi bisa menampar balik wajah orang tua dengan gampang. Kita bisa menyebut mereka anak durhaka,tidak berterimaksih atas jasa orang tua.

Selagi kita dipercaya menjadi pemimpin,entah itu pemimpin di rumah ataupun pemimpin masyarakat. Biasakan kita memimpin dengan bijak. Biasakan intropeksi  dengan bertanya pada diri sendiri, apakah saya sudah menyediakan waktu yang cukup untuk berbicara dengan anak-anakku,untuk sekedar mendengarkan apa yang mereka inginkan dan apa yang elah  mereka lakukan? Apakah aku sudah memenuhi hak mereka dengan baik walaupun belum sesuai dengan kewajiban yang telah mereka lakukan? Apakah aku bisa mejadi model bagi mereka atas aturan-aturan yang aku terapkan pada mereka? Jika kita belum mampu menjawabnya dengan jujur dan tegas,hargailah hak mereka sebagai individu yang bisa menilai,bisa bersuara,dan menuntut hal yang sama pada kita.

Sebagai orang tua sekaligus pemimpin,kita bisa menuntut anak untuk memperoleh prestasi yang cemerlang jika kita sudah membimbingnya untuk belajar,menyediakan fasilitas untuk meraih impian kita,dan sudah memenuhi haknya (cukup beristirahat,cukup gizi,cukup terjaga kenyamanannya). Sanksipun akan dibenarkan jika kita sudah memenuhi kewajiban ini namun aturan dan keinginan kita tidak diindahkan  Bisa menuntut anak berprilaku yang baik jika kita sudah memberikan contoh,tertib dengan aturan yang telah dibuat,tidak egois atas kekuasaan.

Melarang anak untuk disiplin,berprestasi,patuh dengan pimpinan,tapi kita sendiri menutup mata,ketika anak pucat pasi menahan lapar, pura-pura tidak melihat kala anak terjatuh menahan kesakitan,menutup telinga ketika anak tersiksa dengan ambisi yang kita inginkan. Ketika anak berteriak, " ibu tak seharusnya memaksakan saya untuk mengenakan rok yang menyapu jalanan,kerudung menutupi dada,berpakaian longgar menyamarkan bentuk tubuh ,jika ibu sendiri masih bangga dengan baju-baju ibu yang seksi memenuhi lemari".  Tolong jangan katakan  "Saya orang tuamu,berhak menghendaki apapun atas dirimu sesuai apa yang aku mau" dengan suara yang tak kalah lantang dan tangan berkacak dipinggang.

Ingat wahai orang tua,wahai pemimpin,posisi yang kita miliki sekarang ini, kelak akan diwarisi oleh anak-anak kita. Dengan pemahaman yang mereka dapat dari penngalaman hidupnya,jangan sampai kita diteriaki hal serupa ketika raga ini sudah tidak berdaya. #salamdamaiuntukpemimpin#






Tidak ada komentar:

Posting Komentar