Laman

Kedai Pempek dan Duku Palembang

“Alhamduliah bisa makan tekwan lagi” ucapku ketika memasuki kedai pempek Palembang langganan saya yang sudah hampir tiga pekan libur dagang.
“ iyo yuk,libur dulu bejualan,kito jualan duku nineng kudai” jawab pemilik kedai dengan logatnya yang lemah gemulai.

Tiga pekan terakhir,aktifitas dikedai yang biasanya berdagang berbagai jenis pempek Palembang libur total. Setiap saya melintas,yang kebetulan letaknya berdekatan dengan kantor saya kondisi warung yang lumayan luas ini tetap buka. Namun spanduk yang terpasang berubah nama “ Agen Duku Palembang”.

Awalnya saya pikir,kedai ini memang sudah beralih kepemilikan. Menurut cerita empunya yang punya lapak,yang baru mulai aktifitas berdagang pempek hari ini, ternyata kegiatannya  itu hanya membantu keluarganya yang sebagian petani duku untuk menjual hasil buminya agar mendapat hasil yang lumayan.

Tiga pekan terakhir Jakarta memang kebanjiran duku Palembang. Dokung,sebutan buah yang bercita rasa manis ini di daerah asalnya. Ratusan peti kayu diturunkan setiap harinya di kedai ini. Kedai makan itu berubah fungsi sebagai gudang. Ruang kosong tanpa perlengkapan kedai makan pada umumnya.

Menurut pemilik kedai  yang berasal dari Tanjung Lubuk Ogan Komering Ilir,semua pedagang duku disekitar daerah ini mengambil dagangan dari mereka. Dalam satu petinya yang berisi 16 kilo dijual dengan harga 125rb pada puncaknya musim duku. Pedagang yang mengambil di sini,biasanya memilah-milah lagi buah yang ada di peti sebelum dijual. Untuk buah yang berukuran besar dan segar mereka jual Rp.15rb/kg,sedangkan yang sedang mereka hargai Rp.12rb/kg.

Pedagang yang berjualan menggunakan gerobak dipinggir jalan bisa menghabiskan 8-11 peti. Buah duku bisa bertahan selama dua hari dalam kondisi segar. Jika lebih dari itu,buah bisa berubah warna menjadi kehitaman kulitnya. Meskipun tidak merubah cita rasa (justru rasanya lebih manis) namun dijual lebih murah. Pembeli biasanya menganggap buah itu sudah layu/busuk. Kalau kondisinya sudah seperti itu biasanya pedagang menjualnya lebih murah Rp.9rb/kg bahkan ada yang menjual Rp.15rb/2kg.  Pintar-pintar merekalah supaya dapat uang. Tapi mereka tetap mendapat untung yang lumayan. Dalam satu peti,keuntungan bersih pedagang mencapai 65rb/peti.

Beda lokasi beda juga harga jualnya. Mereka yang berdagang dipasar tradisonal menjualnya lebih murah.  Bisa beda 2-3 ribu perkilonya dengan harga yang digerobakan di pinggir jalan. Namun pedagang yang berjualan di pasar jutru bisa mengambil 20-30 peti seharinya. Meskipun jual mereka lebih murah,tapi mereka menjual lebih banyak. Jadi hasilnya juga masih lumayanlah.

Kenapa pedagang pempek ini berubah haluan menjadi agen duku selama tiga pekan terakhir. Menurut ceritannya lagi. Di daerah asalnya, musim duku yang berlimpah merupakan dilema bagi sanak saudaranya yang sebagian besar masih melestarikan perkebunan dukunya.  Harga duku yang awalnya masih 6-8 ribu/kilonya, saat buah di dusun matang bersamaan harganya anjlok. Tengkulak hanya mampu menghargai 2rb/kg nya. 

Tragis memang. Panen yang selalu diharapkan para petani bisa memperbaiki ekonomi keluarga justru apa yang ditunggu-tunggu hanya bisa menukupi kebutuhan sehari-hari saja. Jika didiamkan sampai harga membaik,duku lama-kelamaan rontok sendiri karena matang.
Inisiatif dari paguyuban kampung,duku yang dihasilkan oleh anggota dibawa ke Jakarta yang memang sudah mempunyai penampung di sini. Salah satunya kedai ini. Dengan cara seperti ini,harga relatif stabil sehingga petani masih bisa menikmati hasil panen tahunannya ini.” Jangan di Tanya keuntungan yo yuk” kata si abang dengan senyum yang lenjeh mengakhiri penuturannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar